Sabtu, 15 November 2014

“ Krisis”, Sebuah Kolaborasi Tari? (Catatan Kolaborasi antara Arco Renz dan Ali Sukri)


“ Krisis”, Sebuah Kolaborasi Tari?

(Catatan Kolaborasi antara Arco Renz dan Ali Sukri)

Wartawan : Din Saaduddin - Editor : andri - 09 November 2014 13:41 WIB  
“Kris Is”, sebuah pertujukan kolaborasi Arco Renz (Belgia) dan Ali Sukri (Padangpanjang-Indonesia), merupakan sebuah bentuk dialektika tubuh dan pikiran yang diungkapkan dengan berbagai vocabulary gerak. Hasil sintesa dari upaya penari melepaskan diri dari mekaniknya tubuh  dan penolakan atas kestabilan dan keseimbangan. Inilah sepertinya capaian  koreografi yang dilakukan Arco Renz melalui tubuh para penari.
Membaca kolaborasi pertunjukan yang dihasilkan oleh penolakan rasionalitas tubuh-tubuh penari melalui “Kris Is”, Arco Renz (Belgia) dan Ali Sukri (Padangpanjang-Indonesia) berupaya melakukan pemintalan berbagai kemungkinan dramaturgi panggung yang dilakukan di Kota Padangpanjang. 
Akhirnya proses kolaborasi tersebut ditampilkan di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Sabtu (1/11) malam yang lalu. 
“Kris Is” sebuah upaya penolakan terhadap kuasa tubuh-tubuh dan mekaniknya sistem tubuh oleh para penari-penari-Kurniadi Ilham, David Putra Yudha, Erwin Mardiansyah, Fadila Ozlana, Endang Wahyuni, dan Dwi Wulanjani. Ini merupakan sebuah capaian terhadap pergulatan filosofis yang sebenarnya juga harus dipahami dan dimaknai oleh para penari dan audiens yang menyaksikan pada malam itu. Vocabulary gerak tidak saja dikontruksi oleh tubuh, namun melalui pengayaan terhadap isi, yang dihasilkan dengan proses pergulatan tiada henti.
Bentuk-bentuk variasi dan kontinuitas  gerak yang berangkat dari akar gerak silat yang akhirnya menghasilkan ketidakstabilan dan ketidakseimbangan tersebut mengingatkan saya dari konsep dialektika gaya Adorno dengan “Dialektika Negatif”-seorang filsuf berkebangsaan Jerman. 
Seperti halnya dengan konsep dialektika negatif Theodor W. Adorno, dalam konteks ini saya melihatnya sebagai pemusatan penggalian dan kolaborasi mengarah pada penghancuran dan penolakan terhadap kesantunan tubuh dan pikir. Dengan upaya-upaya penciptaan tari secara bersama oleh penari dan koreografer terhadap penolakan kesantunan tubuh dan pikir, maka akan menemukan suatu pembebasan tubuh yang mengarah pada suatu katarsis atau pencerahan yang sangat filosofis. 
Melalui dialektika negatif yang tersebutlah, maka pilihannya adalah bahasa yang secara konseptual dapat menembus ruang dan memiliki berbagai interpretasi makna. Upaya pergulatan tubuh-tubuh untuk mempercayai kemampuan tubuh agar dapat mengkomunikasikan lebih dari sekedar gerak ekspresif kepada para audiens. 
Namun, komunikasi tari dengan dramaturgi tubuh masing-masing penari melalui kolaborasi ini seperti melakukan pengulangan dari apa yang telah dilakukan beberapa bulan sebelumnya di gedung yang sama. Makna dan pesan yang terkandung di dalam koreografi ini, bagi saya mungkin sesuai dan dapat diterima oleh latar sosio budaya dari koreografer Arco Renz, dan masyarakat Eropa yang menyaksikan. 
 Persoalannya adalah, dengan latar sosio budaya para penari dan para audiens yang menyaksikan malam itu, inilah sebuah garis demarkasi yang membentang. Masyarakat Indonesia, khususnya Padangpanjang umumnya hidup dalam harmoni. Memiliki hubungan kehidupan dengan elemen natural, alam, kondisi agraris, air, dan pegunungan yang mengharmonikan alur kehidupan manusia. Koreografi yang dihadirkan malam itu, menempatkan penari dalam posisi subordinat. Melakukan variasi gerak dasar silat yang mencitrakan ketidakseimbangan dan ketidakstabilan tersebut, tanpa hadirnya spektakel panggung dari pembongkaran tubuh para penari Sehingga memberi jarak bagi audiens untuk dapat memahami koreografi yang dilakukan.

“Kris Is”,: Sintesis Dialektika Tubuh  Yang Mati
Pertunjukan tari kontem­porer tersebut berlangsung kurang-lebih 45 menit. Di panggung, di bagian awal pertunjukan telah berdiri enam orang penari yang berusaha memasuki wilayah privat dalam tubuh masing-masing. Para penari berusaha menemukan dan melakukan dialektika antara tubuh-pikiran dengan ilustrasi musik komputer. 
Hasilnya adalah ketegangan-ketegangan, ketidakstabilan dan ketidakseimbangan sistem tubuh yang distimulasi oleh musik, ruang panggung yang luas,  dan tata cahaya yang monoton. Sesekali, gerak kontras dan stakato juga hadir pada koreografi tersebutdari tubuh-tubuh para penari, yang kemudian diiringi dengan berbagai gerak variasi dari tema gerak yang mereka pilih. Bersumber dari berbagai gerakan dasar silat, tubuh-tubuh tersebut telah memilih tema bagi tubuh itu sendiri yang akhirnya mengalami pemberontakan terhadap kesantunan sehingga menghasilkan ketidakteraturan gerak.
 Di antara tata cahaya  dengan arah backlight dan sidewing untuk menghasilkan kekuatan visual  vocabulary gerak, para penari menuntaskan sintesis mereka dengan melakukan pemecahan berbagai gerak-gerak dasar silat seperti gelek, balabek, langkah ka muko, langkah suruik, dan simpia. Gerakan dasar dari silat yang telah akrab oleh para penari dari ISI Padangpanjang. 
Musik yang mengiringi setiap bagian dari pertunjukan “Kris Is” mencoba memberikan suatu ruang resepsi estetik dan ruang imajinatif selama koreografi berlangsung. Tidak adanya pembedaan antar bagian musik yang dihasilkan dari musik komputer tersebut tak lebih hanya berupa suatu intruksi komando kepada tubuh. Suatu intruksi-intruksi yang direspon oleh pikiran agar tubuh dapat membuat suatu sintesa akhir. 
Inilah dialektika tubuh-pikir yang saya maksud. Bagaimana kesadaran berfungsi untuk merespon berbagai daya analisis yang sangat filosofis yang telah dilakukan oleh tubuh-tubuh. Namun pada karya ini, tubuh para penari menjadi mati layaknya sebuah artefak ditinggalkan oleh jiwa si pemakai.
Secara keseluruhan, kostum yang digunakan oleh para penari berupa pakaian keseharian yang memiliki tingkat fleksibel dan kenyamanan sewaktu bergerak. Hal ini terlihat dari berbagai koreografi gerak yang dihasilkan tidak tampak sedikitpun, bahwa pakaian yang dikenakan membelenggu gerakan para penari. 
Hanya saja, pola dan bahan dari kostum yang dikenakan dapat dilihat sebagai cerminan periodesasi waktu hari ini. Terlihat bahan yang digunakan berupa celana legging, baju berbahan kaos, baju yang kerahnya melebar sedemikian rupa, dan celana berbentuk kulot dengan pisak besar. 
Bukankah berbagai pola dan bahan tersebut menyiratkan mode yang dipakai anak-anak muda hari ini? Seolah menyampaikan pesan terselubung. Inilah serbuan trend mode bagi anak-anak bangsa yang non identitas. Cahaya kemudian fade out secara perlahan menggiring audiens ke dalam gelapnya panggung, menyisakan audiens untuk merasakan teror bunyi. 
Hening hanya dalam hitungan detik, kemudian disusul dengan hadirnya seorang penari yang membelah panggung dengan cahaya panggung yang dibentuk menyerupai sebuah arah. Tetap dengan bentuk tubuh yang sama, bergerak tiada henti. Meminjam dari gerakan dasar silat, penari tersebut kemudian melakukan gerakan dengan alunan musik yang berupaya mencari sebuah disharmoni.
Secara bergantian, para penari memasuki panggung. Mengisi ruang, dan memperlihatkan tipe-tipe gerak yang kontruksinya sama.  Dengan cahaya yang menyinari panggung dengan area yang sebesar gedung pertunjukan Hoerijah Adam tersebut membuat ruang panggung terlalu luas untuk ukuran tubuh penari “Kris Is” yang cenderung bermain di level bawah. Untuk para penari ISI Padangpanjang yang sudah terbiasa dengan speed dan power, serta komposisi dan kerampakan, maka kesulitan yang diperlihatkan adalah ketidaksabaran penari menciptakan sintesis dialektika tersebut, sehingga koreografi yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan terdahulu. Hanya pengurangan penari yang membedakan bentuk garapan tersebut. Akibatnya mudah ditebak, tidak adanya energi yang dapat mengikat saya selaku audiens malam itu, hanya sebuah kesabaran, dan lebatnya hujan di luar gedung saja yang membuat saya bisa bertahan menyaksikan hingga akhir pertunjukan.
Pertunjukan “Kris Is” digarap dalam konsep tari yang secara struktur tidak memiliki kecacatan, karena menekankan pada aspek koreografi tubuh, sehingga kebebasan individu untuk melakukan sintesis sah terwakili dengan kebebasan tersebut. Namun, kematian tubuh personal dengan beragam problematika yang dihadapi membuat tubuh-tubuh tersebut menjadi mati. 
Keragaman vocabulary gerak tercipta tanpa mempertimbangkan susunan terkecil dari struktur tubuh penari tersebut. Penari hanya berkutat pada capaian desain gerak dengan penggunaan ruang besar. Sehingga menciptakan  ulang tradisi kepenarian merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi untuk menjawab kebutuhan penari-penari pada garapan tari kontemporer selanjutnya.

“Kris Is”: Kolaborasi Setengah Hati
Selalu saja kolaborasi antar seniman dari luar ISI Padangpanjang dilakukan ntuk menghasilkan berbagai bentuk karya pertunjukan. “Kris Is”, sebuah karya kolaborasi antara koreografer Arco Renz (Belgia) dan Ali Sukri (Padangpanjang-Indonesia), sedianya akan ditampilkan tanggal 8-9 November 2014 di Jakarta dalam event IDF  (Indonesia Dance Festival). 
Namun, sejauh catatan saya dari pertunjukan yang dihasilkan, kolaborasi yang terjadi bukanlah antara Arco Renz dan Ali Sukri, namun Kolaborasi antar Arco Renz dan silat. Dalam pertunjukan tersebut, yang mendominasi tetap saja gaya dari koreografi Arco Renz dengan ketidakstabilan dan ketidakseimbangan gerak yang diwujudkan dengan menggunakan pemecahan gerak-gerak dasar silat. Tidak terlihat gaya dari seorang Ali Sukri yang selalu menekankan pada gerak akrobatik. Pertanyaannya adalah, dimanakah “Ali Sukri” dalam pertunjukan “Kris Is”,  tersebut? 
Melalui tulisan ini, catatan lainnya dalam pertunjukan ini, seharusnya berbagai pengenalan, pelatihan, dan bentuk tradisi kepenarian hari ini perlu dilakukan dan dimulai oleh para penari di lingkungan ISI Padangpanjang. Dengan menciptakan tradisi kepenarian yang benar-benar dapat menampung berbagai problematika seni hari ini. Sehingga berbagai program kolaborasi selanjutnya dapat dijadikan sebagai garda terdepan untuk menciptakan branding ISI Padangpanjang nantinya.
Upaya dari sisi perencanaan kegiatan ini untuk diperlihatkan kepada Jajaran Pemerintahan Daerah Kota Padangpanjang, civitas Akademika ISI Padangpanjang, dan masyarakat pada malam (1/11) tidaklah diimbangi dengan pengelolaan manajemennya. Seremonial penyambutan Walikota tidaklah disambut dengan penataan ruang di lobby depan gedung serta tidak adanya buku panduan pertunjukan. 
Selain mahasiswa, hanya beberapa dosen dari fakultas seni pertunjukan yang terlihat. Walaupun hanya sekedar memperlihatkan sebuah karya tari kolaborasi, sesuatu yang membanggakan akan dibawa ke Jakarta dalam event Internasional, toh sekedar menata ruang loby dan membuat secarik boklet tidak akan menghabiskan biaya produksi berjuta rupiah dan tidak akan membuat saya dan audiens lainnya mereka-reka konsep koreografi “Kris Is”.

Selamat berdialektika dengan catatan pertunjukan “Kris Is”, ini, dan selamat membanggakan Kota Padangpanjang di kancah Internasional Dance Festival  8-9 November 2014  di Jakarta. 

sumber : http://www.koran.padek.co/read/detail/10849

Senin, 19 Agustus 2013

KEHIDUPAN KELOMPOK TEATER DI SUMATERA BARAT (sebuah pencatatan awal)




Kelompok KSST Noktah
Berawal dari hubungan antar pertemanan antara Syuhendri, Yusrizal KW dan Zurmailis yang sering bertemu dalam kegiatan-kegiatan kesenian di Taman Budaya Sumatera Barat, mereka lalu berinisiatif untuk dapat membuat sebuah kelompok seni. Kelompok yang dapat menaungi ekpresi berkesenian mereka pada waktu itu.
 Komitmen awal dalam pembentukan kelompok ini, didasari pada sikap untuk saling belajar bersama-sama bermodalkan semangat, kemauan dan kesadaran, bahwa teater penting untuk di hidupi. Selain itu, dengan kelompok ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan teater Sumatera Barat dan membentuk kemandirian personal untuk dapat menyutradarai pertunjukan teater. Dari harapan tersebutlah lahir motto dari kelompok ini; ”menyelami sastra dan teater dengan sederhana dan penuh keakraban”. Hal ini dapat dipahami, bahwa Syuhendri memiliki latar belakang teater, sedangkan Yusrizal KW dan Zurmailis memiliki latar belakang penulisan sastra.
 Nama kelompok teater ini, kemudian disepakati diberi nama Kelompok Studi Sastra Teater Noktah (disingkat menjadi KSST). Menurut Syuhendri, kata noktah merujuk sebagai sebuah titik, yang diharapkan akan mencipta menjadi garis dan dari garis inilah akan mencipta sebagai bentuk. KSST Noktah, dimaknai sebagai sebuah titik yang diharapkan akan memberi warna dalam peta teater Indonesia yang luas terutama peta teater di Sumatera Barat. Menurut Syuhendri dalam wawancara yang dilakukan penulis, konsep makna noktah sama dengan konsep Nutfah di dalam Islam bagaimana ia memandang bahwa berkesenian ini sama dengan konsep penciptaan tubuh manusia yang berasal dari bentuk yang terkecil.
Bagi para pendirinya, Syuhendri, Yusrizal KW dan Zurmailis, kehadiran kelompok ini diharapkan, tidak memisahkan proses pembelajaran antara sastra dan teater. Selain itu, kelompok ini menerima segala kritikan yang membangun dan tetap mengapresiasi kemungkinan-kemungkinan baru bentuk  penyutradaraan dan pemeranan yang berkembang demi kemajuan kelompok
Dengan berdirinya kelompok teater KSST Noktah, bagi mereka yang saat itu masih muda dalam aktifitas kesenian teater kota Padang, pendirian kelompok adalah cara untuk dapat mewujudkan ekpresi berkesenian, agar dapat diakui dalam suasana perteateran di Sumatera Barat. Proses ini kiranya sejalan dengan pemikiran Cooley dalam Abdulsyani (1994) yang menyatakan bahwa kelemahan manusia selalu mendesak untuk mencari kekuatan bersama, melalui cara berserikat dengan orang lain, sehingga dapat berlindung bersama-sama dan dapat memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari dengan usaha bersama. Keadaan demikian itu pada akhirnya mendorong setiap individu untuk tidak terlepas dari hidup berkelompok dan bermasyarakat.
Pada awal berdiri, kelompok ini beranggotakan berbagai latar belakang profesi seperti para pelajar, mahasiswa, kernet mobil, agen bus di terminal, dan ibu rumah.[1] Beragamnya latar belakang anggota tersebut membuat Syuhendri, Zurmailis dan Yusrizal KW berusaha menanamkan nilai-nilai kekeluargaan dan rasa kebersamaan dalam berbagai cara, untuk mengeratkan hubungan emosinil para anggota. Cara yang dilakukannya seperti; memasak bersama dan makan bersama, kemudian ketika ada anggota yang sakit dijenguk bersama-sama. Hal lain yang dilakukan untuk mempererat hubungan antara para anggota adalah menjadikan Taman Budaya sebagai pusat tempat berkumpul dan latihan bagi anggotanya tersebut. Hal ini serupa dengan kondisi beberapa kelompok kesenian lainnya yang juga menjadikan Taman Budaya sebagai tempat berkumpul dan latihan. Namun, karena salah satu pendiri KSST Noktah ini, yaitu Syuhendri sebagai pegawai Taman Budaya membuat kelompok KSST Noktah lebih memiliki akses untuk mempergunakan ruangan yang ada, baik itu dipergunakan sebagai tempat latihan maupun sebagai sekretariat  
Untuk memperkuat pengetahuan dan kemampuan dalam berteater, Syuhendri yang merupakan sutradara dan pendiri di KSST Noktah memutuskan untuk mendapatkannya di perguruan tinggi. Pilihannya tersebut disebabkan juga karena sokongan dari beberapa teman seperti Zurmailis dan Yusrizal KW. Alasan lainnya adalah kemudahan untuk mendapatkan bantuan pendidikan lebih mudah bagi Syuhendri karena statusnya sebagai PNS di Taman Budaya Sumatera Barat. Setelah mengurus berbagai persyaratan yang dibutuhkan, akhirnya Syuhendri kemudian meneruskan pendidikan pascasarjana minat penciptaan seni teater di pascasarjana Institut Seni Yogyakarta angkatan tahun 2007/2008. Selama dua tahun bersentuhan dengan pendidikan seni teater di Pascarjana Intitut Seni Indonesia Yogyakarta, telah membukakan jalan baginya untuk semakin memantapkan diri untuk mengangkat kearifan lokal Minangkabau  dalam garapan-garapanya.
Pemahaman Syuhendri terhadap tradisi dalam konteks teater ini, sejalan dengan pernyataan W.S Rendra (1984) yang menyatakan, bahwa tradisi ialah kebiasaan yang turun-temurun dalam sebuah masyarakat. Ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Sifatnya luas sekali, meliputi segala kompleks kehidupan, sehingga sukar disisih-sisihkan dengan pemerincian yang tetap dan pasti. Terutama sulit sekali diperlakukan serupa itu karena tradisi itu bukan obyek yang mati. Melainkan alat yang hidup untuk melayani manusia yang hidup pula. Ia bisa disederhanakan, tetapi kenyataannya tidak sederhana. Lewat karya-karyanya yang mempergunakan unsur-unsur tradisi tersebut, ia akhirnya menemukan pencerahan pribadi. Sehingga memilih untuk terus mempergunakan unsur tradisi Minangkabau dalam garapan-garapan selanjutnya.
Terjaganya intensitas kelompok teater KSST Noktah dalam berkarya dan berkelompok  selama ini tentu saja tidak lepas juga atas peran sesama anggotanya yang saling menjaga keharmonisan di dalam kelompok. hal ini jugalah yang menyebabkan kelompok teater KSST Noktah tidak pernah memiliki aturan yang mengikat bagi seorang aktor harus tunduk dalam satu kegiatan kelompok saja. Syuhendri secara pribadi memberikan kebebasan ini, karena ia belum dapat memberikan sesuatu harapan secara ekonomi yang dapat membuat anggota terikat dan melakukan totalitas kerja dalam satu manajemen yang terorganisir. Setiap anggota di dalam KSST Noktah boleh tetap beraktifitas di dalam kelompok masing-masing anggota, seperti kegiatan penulisan sastra ataupun bidang lainnya yang ditekuni anggota. Hal ini disebabkan, anggota KSST Noktah masih ada yang berstatus sebagai mahasiswa.
Sebagai sebuah kelompok yang tidak menerapkan manajemen modern, KSST Noktah selalu mengandalkan anggota yang terus berganti untuk terlibat di dalam setiap proses berkarya. Tidak ada posisi khusus yang diberikan kepada anggota untuk tetap berada di tim produksi ataupun tim artistik, semua anggota boleh saling bergantian mengisi jabatan tersebut, selama masih bisa bertahan di kelompok  untuk terlibat bersama. Karena itulah, KSST Noktah selalu merasakan, seperti yang diungkapkan oleh Syuhendri, bahwa kendala yang dialami oleh kelompok teater di Sumatera Barat selalu sama, begitu juga terhadap KSST Noktah. Bahwa, ketiadaan aktor yang permanen dan bertahan lama untuk bergabung, setelah berproses beberapa garapan, mereka keluar dan digantikan dengan anggota baru kembali. Akibatnya, setiap sutradara tentu memulai kembali dari nol untuk melatih keaktoran anggotanya sewaktu akan berproses. Dan, persoalannya begitu besar menghadang sewaktu akan menggarap sebuah naskah menjadi sebuah pertunjukan, karena tidak sebentarnya waktu untuk membentuk anggota baru tersebut. Hal tersebut, juga dialami oleh KSST Noktah.[2]
Untuk manajemen kelompok, pengelolaannya sangat jauh dari ideal. Program kegiatan yang dilakukan masih dilakukan oleh Syuhendri secara pribadi, baik itu dari perencanaan maupun persiapan produksi. Selain itu, kurangnya dokumentasi pertunjukan semenjak tahun 1993, berupa; foto, artikel, dan video pertunjukan memperlihatkan buruknya pengelolaan kelompok ini. Seperti halnya dengan beberapa kelompok teater yang ada di Sumatera Barat, peningkatan jumlah pementasan yang dihasilkan, tidak diiringi dengan upaya-upaya pendokumentasian setiap kegiatan dan produksi yang pernah dilakukan.
 Karya-karya yang dihasilkan oleh Syuhendri.
          Semenjak berdiri tahun 1993 hingga tahun 2011 ini KSST Noktah merupakan kelompok teater yang memiliki konsistensi dalam berkarya, berbeda sekali dengan beberapa kelompok teater lainnya , yang hanya puas dengan mementaskan beberapa karya, kemudian kelompok tersebut tidak terdengar lagi kiprahnya di jagat teater Sumatera Barat. Karya-karya yang disajikan KSST Noktah semenjak berdirinya kelompok,  merupakan karya yang diciptakan bersama para anggota-anggota yang terus silih berganti menggerakkan kelompok ini.  
Karya-karya yang telah dihasilkan antara lain;
Pertunjukan teater berjudul “Interogasi”.
Pertunjukan ini menggunakan lakon realis dari penulis Arifin C Noer, penulis berkebangsaan Indonesia yang terkenal dengan kelompok Teater Kecil.Sebagai pertunjukan perdana, kelompok KSST Noktah menampilkan pertunjukan ini selama tiga hari, dari tanggal 8,9,10 Agustus 1994.  Pertunjukan ini, sekaligus menjadi peresmian berdirinya KSST Noktah. Namun sayangnya, dokumentasi berupa tulisan yang mengulas pertunjukan ini sudah tidak dapat ditemukan kembali, hal tersebut diakui oleh Syuhendri sebagai sutradara ketika ditelusuri oleh penulis.
Pertunjukan teater berjudul “Orkes Madun”.
 Pertunjukan ini menggunakan lakon realis dari penulis Arifin C Noer, penulis berkebangsaan Indonesia yang terkenal dengan kelompok Teater Kecil. Pertunjukan ini kembali disutradarai oleh Syuhendri dan ditampilkan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Padang. Pertunjukan ini menurut Syuhendri, seingatnya dipentaskan pada bulan Juni tahun 1995 dan kembali tampil dalam waktu tiga hari. Sebagai pertunjukan kedua dari KSST Noktah, kelompok ini tetap belum dapat mendokumentasikan secara baik kegiatan yang telah dilangsungkan tersebut. Dokumentasi karya ini hanya rekaman pertunjukan berupa video dari kaset VHS, namun saat ini kaset VHS tersebut sudah tidak bisa diputar kembali secara utuh, hal ini disebabkan pita kaset yang sudah berjamur dan menggumpal dan melekat.
 Pertunjukan teater berjudul “Umang-Umang”.
Pertunjukan ini menggunakan lakon dari penulis Arifin C Noer, penulis berkebangsaan Indonesia yang terkenal dengan kelompok Teater Kecil. Pertunjukan ini disutradarai oleh Syuhendri dan ditampilkan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Padang selama tiga hari, tanggal 14,15,16 Desember dan ditampilkan kembali pada tanggal 30 Desember 1995.[3]
Pertunjukan teater berjudul “Kisah Cinta Dan Lain-Lain”.
Pertunjukan ini menggunakan lakon dari penulis Arifin C Noer, penulis berkebangsaan Indonesia yang terkenal dengan kelompok Teater Kecil. Pertunjukan ini disutradarai oleh Syuhendri dan ditampilkan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat selama dua hari, tanggal 26-27 Juni 1997.[4]
 Pertunjukan teater berjudul “Kucak-Kacik”.
Pertunjukan ini menggunakan lakon dari penulis Arifin C Noer, penulis berkebangsaan Indonesia yang terkenal dengan kelompok Teater Kecil. Pertunjukan ini disutradarai oleh Syuhendri dan ditampilkan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat selama tiga hari, tanggal 10,11,12 September 1999.[5]
 Pertunjukan teater berjudul “Kapai-Kapai”.
 Pertunjukan ini menggunakan lakon dari penulis Arifin C Noer, Pertunjukan inidi sutradarai oleh Syuhendri dan ditampilkan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat selama tiga hari, pada tanggal 18, 19  dan 20 Agustus tahun 2000.
Pertunjukan teater berjudul “Pagi Bening”.
Pertunjukan ini menggunakan lakon dari penulis bernama Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero berkebangsaan Spanyol, pertunjukan ini sutradarai oleh Syuhendri, dan di pentaskan di area terbuka dalam lingkungan Taman Budaya Sumatera Barat tanggal 9 November 2001.[6]
Pertunjukan teater berjudul “Pada Suatu Hari”.
Pertunjukan ini menggunakan lakon dari penulis Arifin C Noer, pertunjukan ini disutradarai oleh Syuhendri, dan ditampilkan di  Gedung Olah Seni Taman Budaya Riau Kota Pekanbaru pada tanggal 6 Juli tahun 2002.[7]
Pertunjukan teater berjudul “Negeri Yang Terkubur”.
 Garapan ini menggunakan lakon yang ditulis oleh Zurmailis, pendiri KSST Noktah dan disutradarai Syuhendri. Garapan ini telah dipentaskan di beberapa kota di Sumatera, yakni; pada tanggal 30 Oktober 2002 di Gedung Bestanoel Arifin Adam ISI Padangpanjang, tanggal  16 Agustus, 2003 di Gedung Teater Arena Taman Budaya Jambi, tanggal 19 Agustus 2003 di Gedung Teater Taman Budaya Bengkulu, kemudian pada tanggal  23 Agustus 2003 di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung.[8]
Pertunjukan teater berjudul “Oidipus”.
Pertunjukan ini menggunakan lakon dari penulis Andre Gide berkebangsaan Prancis. Pertunjukan ini disutradarai oleh Syuhendri dan dipentaskan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat selama tiga hari, dari tanggal 28, 29, dan 30 Mei tahun  2004.[9]
Pertunjukan teater berjudul “The Police”.
Pertunjukan ini menggunakan lakon dari penulis bernama Zlavomir Mrozek berkebangsaan Polandia. Pertunjukan ini disutradarai oleh Syuhendri dan ditampilkan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat pada tanggal 20 Maret 2005.[10]
Pertunjukan teater berjudul “Perempuan itu Bernama Sabai”.
Pertunjukan ini menggunakan naskah yang ditulis dan disutradarai oleh Syuhendri. Di tampilkan tanggal 6-7 Agustus 2005 di Pelataran Terbuka Taman Budaya Sumatera Barat, kemudian pada tanggal 13 Agustus 2005 ditampilkan kembali di Tapian Nagari Balingka, Kabupaten Agam.
Pertunjukan teater berjudul “Rumah Jantan”.
 Pertunjukan ini menggunakan naskah yang ditulis dan di Sutradarai oleh Syuhendri. Ditampilkan di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Barat pada tanggal 25-26 Juni tahun 2009.
Pertunjukan teater berjudul “Tanah Ibu”.
 Pertunjukan ini menggunakan naskah yang ditulis dan disutradarai oleh Syuhendri. Ditampilkan di Gedung Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat pada tanggal 27 Oktober tahun 2010
Pertunjukan teater berjudul “Wanita Terakhir”.
Pertunjukan ini menggunakan naskah yang ditulis oleh Wisran Hadi , penulis dari Sumatera Barat. Pertunjukan ini ditampilkan di Gedung teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat pada tanggal 16 November tahun 2011.






[1] Hasil dari wawancara bersama Syuhendri
[2] Hasil dari wawancara bersama Syuhendri
[3] Berdasarkan tulisan Yusrizal KW, “Teater Noktah dan Kursi Tergantung”, Koran Harian Haluan: Padang  tanggal 2 Januari 1996 (dokumentasi  pribadi Syuhendri).
[4] Berdasarkan tulisan Yusrizal KW, “Misteri Anjing Teater Noktah”, Koran Harian Haluan;Padang, tanggal 1 Juli 1997 dan tulisan Orde Barta Ananda, “Arifin C Noor Mengirim Surat Cinta Pada Syuhendri”, Koran Harian Haluan; Padang tanggal 8 Juli 1997.
[5] Berdasarkan tulisan S Metron,”Pementasan Teater Noktah; Menggenggam Awan”, Koran Mingguan Merapi tanggal 3-9 November 1999 dan Ivan Adilla, “Pencarian Eksistensial Yang Tertindih”, Koran Harian Mimbar Minang, tanggal 18 September 1999.
[6] Berdasarkan tulisan Yurnaldi,” Ketika Mereka Berpentas di Bawah Pohon”, Koran Harian Kompas, tanggal 14 November 2001 dan tulisan Ode Barta Ananda,” Suhendri mempertunjukkaqn Cinta”, Koran Harian Padang Ekspres, tanggal 31 Oktober 2001.
[7] Berdasarkan tulisan Beranda DKR, “ Teater Noktah Persembahkan  Pada Suatu Hari”, Koran Harian Riau Pos pada tanggal 6 Juli 2002.
[8] Berdasarkan tulisan Ode Barta Ananda,” Menyigi Minangkabau Lewat Negeri Yang Terkubur”, Koran Harian Padang Ekspres tanggal 17 Agustus 2003, tulisan “ Teater Noktah Manggung di Taman Budaya Lampung”, Koran Lampung Post tanggal 21 Agustus, 2003, Tulisan “Malam ini, Pesona Teater 2003 di Tutup”, Koran Harian Jambi Ekspress tanggal 16 Agustus 2003, dan Tulisan “ Malam Ini  Teater Noktah Pentas di Taman Budaya”, Koran Harian Rakyat Bengkulu tanggal 19 Agustus 2003.
[9]  Berdasarkan tulisan Ganda Cipta, “ Oidipus Dalam Pementasan Teater; Perlawanan Takdir Seorang Raja”, Koran Harian Singgalang, tanggal 27 Juni 2004.
[10] Berdasarkan tulisan Nanang, “ Lemparan Granat untuk Seorang Jenderal”, Koran Harian Padang Ekspres tanggal 23 Maret 2005.