“ Krisis”, Sebuah Kolaborasi Tari?
(Catatan Kolaborasi antara Arco Renz dan Ali Sukri)
Wartawan : Din Saaduddin - Editor : andri - 09 November 2014 13:41 WIB
“Kris Is”, sebuah pertujukan kolaborasi Arco Renz (Belgia) dan Ali
Sukri (Padangpanjang-Indonesia), merupakan sebuah bentuk dialektika
tubuh dan pikiran yang diungkapkan dengan berbagai vocabulary gerak.
Hasil sintesa dari upaya penari melepaskan diri dari mekaniknya tubuh
dan penolakan atas kestabilan dan keseimbangan. Inilah sepertinya
capaian koreografi yang dilakukan Arco Renz melalui tubuh para penari.
Membaca kolaborasi pertunjukan yang dihasilkan oleh penolakan
rasionalitas tubuh-tubuh penari melalui “Kris Is”, Arco Renz (Belgia)
dan Ali Sukri (Padangpanjang-Indonesia) berupaya melakukan pemintalan
berbagai kemungkinan dramaturgi panggung yang dilakukan di Kota
Padangpanjang.
Akhirnya proses kolaborasi tersebut ditampilkan di Gedung Pertunjukan
Hoerijah Adam Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Sabtu (1/11) malam
yang lalu.
“Kris Is” sebuah upaya penolakan terhadap kuasa tubuh-tubuh dan
mekaniknya sistem tubuh oleh para penari-penari-Kurniadi Ilham, David
Putra Yudha, Erwin Mardiansyah, Fadila Ozlana, Endang Wahyuni, dan Dwi
Wulanjani. Ini merupakan sebuah capaian terhadap pergulatan filosofis
yang sebenarnya juga harus dipahami dan dimaknai oleh para penari dan
audiens yang menyaksikan pada malam itu. Vocabulary gerak tidak saja
dikontruksi oleh tubuh, namun melalui pengayaan terhadap isi, yang
dihasilkan dengan proses pergulatan tiada henti.
Bentuk-bentuk variasi dan kontinuitas gerak yang berangkat dari akar
gerak silat yang akhirnya menghasilkan ketidakstabilan dan
ketidakseimbangan tersebut mengingatkan saya dari konsep dialektika gaya
Adorno dengan “Dialektika Negatif”-seorang filsuf berkebangsaan
Jerman.
Seperti halnya dengan konsep dialektika negatif Theodor W. Adorno,
dalam konteks ini saya melihatnya sebagai pemusatan penggalian dan
kolaborasi mengarah pada penghancuran dan penolakan terhadap kesantunan
tubuh dan pikir. Dengan upaya-upaya penciptaan tari secara bersama oleh
penari dan koreografer terhadap penolakan kesantunan tubuh dan pikir,
maka akan menemukan suatu pembebasan tubuh yang mengarah pada suatu
katarsis atau pencerahan yang sangat filosofis.
Melalui dialektika negatif yang tersebutlah, maka pilihannya adalah
bahasa yang secara konseptual dapat menembus ruang dan memiliki berbagai
interpretasi makna. Upaya pergulatan tubuh-tubuh untuk mempercayai
kemampuan tubuh agar dapat mengkomunikasikan lebih dari sekedar gerak
ekspresif kepada para audiens.
Namun, komunikasi tari dengan dramaturgi tubuh masing-masing penari
melalui kolaborasi ini seperti melakukan pengulangan dari apa yang telah
dilakukan beberapa bulan sebelumnya di gedung yang sama. Makna dan
pesan yang terkandung di dalam koreografi ini, bagi saya mungkin sesuai
dan dapat diterima oleh latar sosio budaya dari koreografer Arco Renz,
dan masyarakat Eropa yang menyaksikan.
Persoalannya adalah, dengan latar sosio budaya para penari dan para
audiens yang menyaksikan malam itu, inilah sebuah garis demarkasi yang
membentang. Masyarakat Indonesia, khususnya Padangpanjang umumnya hidup
dalam harmoni. Memiliki hubungan kehidupan dengan elemen natural, alam,
kondisi agraris, air, dan pegunungan yang mengharmonikan alur kehidupan
manusia. Koreografi yang dihadirkan malam itu, menempatkan penari dalam
posisi subordinat. Melakukan variasi gerak dasar silat yang mencitrakan
ketidakseimbangan dan ketidakstabilan tersebut, tanpa hadirnya spektakel
panggung dari pembongkaran tubuh para penari Sehingga memberi jarak
bagi audiens untuk dapat memahami koreografi yang dilakukan.
“Kris Is”,: Sintesis Dialektika Tubuh Yang Mati
Pertunjukan tari kontemporer tersebut berlangsung kurang-lebih 45 menit. Di panggung, di bagian awal pertunjukan telah berdiri enam orang penari yang berusaha memasuki wilayah privat dalam tubuh masing-masing. Para penari berusaha menemukan dan melakukan dialektika antara tubuh-pikiran dengan ilustrasi musik komputer.
Pertunjukan tari kontemporer tersebut berlangsung kurang-lebih 45 menit. Di panggung, di bagian awal pertunjukan telah berdiri enam orang penari yang berusaha memasuki wilayah privat dalam tubuh masing-masing. Para penari berusaha menemukan dan melakukan dialektika antara tubuh-pikiran dengan ilustrasi musik komputer.
Hasilnya adalah ketegangan-ketegangan, ketidakstabilan dan
ketidakseimbangan sistem tubuh yang distimulasi oleh musik, ruang
panggung yang luas, dan tata cahaya yang monoton. Sesekali, gerak kontras dan stakato juga hadir pada koreografi
tersebutdari tubuh-tubuh para penari, yang kemudian diiringi dengan
berbagai gerak variasi dari tema gerak yang mereka pilih. Bersumber dari berbagai gerakan dasar silat, tubuh-tubuh tersebut
telah memilih tema bagi tubuh itu sendiri yang akhirnya mengalami
pemberontakan terhadap kesantunan sehingga menghasilkan ketidakteraturan
gerak.
Di antara tata cahaya dengan arah backlight dan sidewing untuk
menghasilkan kekuatan visual vocabulary gerak, para penari menuntaskan
sintesis mereka dengan melakukan pemecahan berbagai gerak-gerak dasar
silat seperti gelek, balabek, langkah ka muko, langkah suruik, dan
simpia. Gerakan dasar dari silat yang telah akrab oleh para penari dari
ISI Padangpanjang.
Musik yang mengiringi setiap bagian dari pertunjukan “Kris Is”
mencoba memberikan suatu ruang resepsi estetik dan ruang imajinatif
selama koreografi berlangsung. Tidak adanya pembedaan antar bagian musik
yang dihasilkan dari musik komputer tersebut tak lebih hanya berupa
suatu intruksi komando kepada tubuh. Suatu intruksi-intruksi yang
direspon oleh pikiran agar tubuh dapat membuat suatu sintesa akhir.
Inilah dialektika tubuh-pikir yang saya maksud. Bagaimana kesadaran
berfungsi untuk merespon berbagai daya analisis yang sangat filosofis
yang telah dilakukan oleh tubuh-tubuh. Namun pada karya ini, tubuh para
penari menjadi mati layaknya sebuah artefak ditinggalkan oleh jiwa si
pemakai.
Secara keseluruhan, kostum yang digunakan oleh para penari berupa
pakaian keseharian yang memiliki tingkat fleksibel dan kenyamanan
sewaktu bergerak. Hal ini terlihat dari berbagai koreografi gerak yang
dihasilkan tidak tampak sedikitpun, bahwa pakaian yang dikenakan
membelenggu gerakan para penari.
Hanya saja, pola dan bahan dari kostum yang dikenakan dapat dilihat
sebagai cerminan periodesasi waktu hari ini. Terlihat bahan yang
digunakan berupa celana legging, baju berbahan kaos, baju yang kerahnya
melebar sedemikian rupa, dan celana berbentuk kulot dengan pisak besar.
Bukankah berbagai pola dan bahan tersebut menyiratkan mode yang
dipakai anak-anak muda hari ini? Seolah menyampaikan pesan terselubung.
Inilah serbuan trend mode bagi anak-anak bangsa yang non identitas. Cahaya kemudian fade out secara perlahan menggiring audiens ke dalam
gelapnya panggung, menyisakan audiens untuk merasakan teror bunyi.
Hening hanya dalam hitungan detik, kemudian disusul dengan hadirnya
seorang penari yang membelah panggung dengan cahaya panggung yang
dibentuk menyerupai sebuah arah. Tetap dengan bentuk tubuh yang sama,
bergerak tiada henti. Meminjam dari gerakan dasar silat, penari tersebut
kemudian melakukan gerakan dengan alunan musik yang berupaya mencari
sebuah disharmoni.
Secara bergantian, para penari memasuki panggung. Mengisi ruang, dan
memperlihatkan tipe-tipe gerak yang kontruksinya sama. Dengan cahaya
yang menyinari panggung dengan area yang sebesar gedung pertunjukan
Hoerijah Adam tersebut membuat ruang panggung terlalu luas untuk ukuran
tubuh penari “Kris Is” yang cenderung bermain di level bawah. Untuk para penari ISI Padangpanjang yang sudah terbiasa dengan speed
dan power, serta komposisi dan kerampakan, maka kesulitan yang
diperlihatkan adalah ketidaksabaran penari menciptakan sintesis
dialektika tersebut, sehingga koreografi yang dihasilkan tidak jauh
berbeda dengan terdahulu. Hanya pengurangan penari yang membedakan
bentuk garapan tersebut. Akibatnya mudah ditebak, tidak adanya energi yang dapat mengikat saya
selaku audiens malam itu, hanya sebuah kesabaran, dan lebatnya hujan di
luar gedung saja yang membuat saya bisa bertahan menyaksikan hingga
akhir pertunjukan.
Pertunjukan “Kris Is” digarap dalam konsep tari yang secara struktur
tidak memiliki kecacatan, karena menekankan pada aspek koreografi tubuh,
sehingga kebebasan individu untuk melakukan sintesis sah terwakili
dengan kebebasan tersebut. Namun, kematian tubuh personal dengan beragam
problematika yang dihadapi membuat tubuh-tubuh tersebut menjadi mati.
Keragaman vocabulary gerak tercipta tanpa mempertimbangkan susunan
terkecil dari struktur tubuh penari tersebut. Penari hanya berkutat pada
capaian desain gerak dengan penggunaan ruang besar. Sehingga
menciptakan ulang tradisi kepenarian merupakan suatu keharusan yang
tidak bisa ditawar lagi untuk menjawab kebutuhan penari-penari pada
garapan tari kontemporer selanjutnya.
“Kris Is”: Kolaborasi Setengah Hati
Selalu saja kolaborasi antar seniman dari luar ISI Padangpanjang dilakukan ntuk menghasilkan berbagai bentuk karya pertunjukan. “Kris Is”, sebuah karya kolaborasi antara koreografer Arco Renz (Belgia) dan Ali Sukri (Padangpanjang-Indonesia), sedianya akan ditampilkan tanggal 8-9 November 2014 di Jakarta dalam event IDF (Indonesia Dance Festival).
Namun, sejauh catatan saya dari pertunjukan yang dihasilkan, kolaborasi yang terjadi bukanlah antara Arco Renz dan Ali Sukri, namun Kolaborasi antar Arco Renz dan silat. Dalam pertunjukan
tersebut, yang mendominasi tetap saja gaya dari koreografi Arco Renz
dengan ketidakstabilan dan ketidakseimbangan gerak yang diwujudkan
dengan menggunakan pemecahan gerak-gerak dasar silat. Tidak terlihat
gaya dari seorang Ali Sukri yang selalu menekankan pada gerak akrobatik.
Pertanyaannya adalah, dimanakah “Ali Sukri” dalam pertunjukan “Kris
Is”, tersebut?
Melalui tulisan ini, catatan lainnya dalam pertunjukan ini,
seharusnya berbagai pengenalan, pelatihan, dan bentuk tradisi kepenarian
hari ini perlu dilakukan dan dimulai oleh para penari di lingkungan ISI
Padangpanjang. Dengan menciptakan tradisi kepenarian yang benar-benar
dapat menampung berbagai problematika seni hari ini. Sehingga berbagai
program kolaborasi selanjutnya dapat dijadikan sebagai garda terdepan
untuk menciptakan branding ISI Padangpanjang nantinya.
Upaya dari sisi perencanaan kegiatan ini untuk diperlihatkan kepada
Jajaran Pemerintahan Daerah Kota Padangpanjang, civitas Akademika ISI
Padangpanjang, dan masyarakat pada malam (1/11) tidaklah diimbangi
dengan pengelolaan manajemennya. Seremonial penyambutan Walikota
tidaklah disambut dengan penataan ruang di lobby depan gedung serta
tidak adanya buku panduan pertunjukan.
Selain mahasiswa, hanya beberapa dosen dari fakultas seni pertunjukan
yang terlihat. Walaupun hanya sekedar memperlihatkan sebuah karya tari
kolaborasi, sesuatu yang membanggakan akan dibawa ke Jakarta dalam event
Internasional, toh sekedar menata ruang loby dan membuat secarik boklet
tidak akan menghabiskan biaya produksi berjuta rupiah dan tidak akan
membuat saya dan audiens lainnya mereka-reka konsep koreografi “Kris
Is”.
Selamat berdialektika dengan catatan pertunjukan “Kris Is”, ini, dan
selamat membanggakan Kota Padangpanjang di kancah Internasional Dance
Festival 8-9 November 2014 di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar