Sabtu, 15 November 2014

“ Krisis”, Sebuah Kolaborasi Tari? (Catatan Kolaborasi antara Arco Renz dan Ali Sukri)


“ Krisis”, Sebuah Kolaborasi Tari?

(Catatan Kolaborasi antara Arco Renz dan Ali Sukri)

Wartawan : Din Saaduddin - Editor : andri - 09 November 2014 13:41 WIB  
“Kris Is”, sebuah pertujukan kolaborasi Arco Renz (Belgia) dan Ali Sukri (Padangpanjang-Indonesia), merupakan sebuah bentuk dialektika tubuh dan pikiran yang diungkapkan dengan berbagai vocabulary gerak. Hasil sintesa dari upaya penari melepaskan diri dari mekaniknya tubuh  dan penolakan atas kestabilan dan keseimbangan. Inilah sepertinya capaian  koreografi yang dilakukan Arco Renz melalui tubuh para penari.
Membaca kolaborasi pertunjukan yang dihasilkan oleh penolakan rasionalitas tubuh-tubuh penari melalui “Kris Is”, Arco Renz (Belgia) dan Ali Sukri (Padangpanjang-Indonesia) berupaya melakukan pemintalan berbagai kemungkinan dramaturgi panggung yang dilakukan di Kota Padangpanjang. 
Akhirnya proses kolaborasi tersebut ditampilkan di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Sabtu (1/11) malam yang lalu. 
“Kris Is” sebuah upaya penolakan terhadap kuasa tubuh-tubuh dan mekaniknya sistem tubuh oleh para penari-penari-Kurniadi Ilham, David Putra Yudha, Erwin Mardiansyah, Fadila Ozlana, Endang Wahyuni, dan Dwi Wulanjani. Ini merupakan sebuah capaian terhadap pergulatan filosofis yang sebenarnya juga harus dipahami dan dimaknai oleh para penari dan audiens yang menyaksikan pada malam itu. Vocabulary gerak tidak saja dikontruksi oleh tubuh, namun melalui pengayaan terhadap isi, yang dihasilkan dengan proses pergulatan tiada henti.
Bentuk-bentuk variasi dan kontinuitas  gerak yang berangkat dari akar gerak silat yang akhirnya menghasilkan ketidakstabilan dan ketidakseimbangan tersebut mengingatkan saya dari konsep dialektika gaya Adorno dengan “Dialektika Negatif”-seorang filsuf berkebangsaan Jerman. 
Seperti halnya dengan konsep dialektika negatif Theodor W. Adorno, dalam konteks ini saya melihatnya sebagai pemusatan penggalian dan kolaborasi mengarah pada penghancuran dan penolakan terhadap kesantunan tubuh dan pikir. Dengan upaya-upaya penciptaan tari secara bersama oleh penari dan koreografer terhadap penolakan kesantunan tubuh dan pikir, maka akan menemukan suatu pembebasan tubuh yang mengarah pada suatu katarsis atau pencerahan yang sangat filosofis. 
Melalui dialektika negatif yang tersebutlah, maka pilihannya adalah bahasa yang secara konseptual dapat menembus ruang dan memiliki berbagai interpretasi makna. Upaya pergulatan tubuh-tubuh untuk mempercayai kemampuan tubuh agar dapat mengkomunikasikan lebih dari sekedar gerak ekspresif kepada para audiens. 
Namun, komunikasi tari dengan dramaturgi tubuh masing-masing penari melalui kolaborasi ini seperti melakukan pengulangan dari apa yang telah dilakukan beberapa bulan sebelumnya di gedung yang sama. Makna dan pesan yang terkandung di dalam koreografi ini, bagi saya mungkin sesuai dan dapat diterima oleh latar sosio budaya dari koreografer Arco Renz, dan masyarakat Eropa yang menyaksikan. 
 Persoalannya adalah, dengan latar sosio budaya para penari dan para audiens yang menyaksikan malam itu, inilah sebuah garis demarkasi yang membentang. Masyarakat Indonesia, khususnya Padangpanjang umumnya hidup dalam harmoni. Memiliki hubungan kehidupan dengan elemen natural, alam, kondisi agraris, air, dan pegunungan yang mengharmonikan alur kehidupan manusia. Koreografi yang dihadirkan malam itu, menempatkan penari dalam posisi subordinat. Melakukan variasi gerak dasar silat yang mencitrakan ketidakseimbangan dan ketidakstabilan tersebut, tanpa hadirnya spektakel panggung dari pembongkaran tubuh para penari Sehingga memberi jarak bagi audiens untuk dapat memahami koreografi yang dilakukan.

“Kris Is”,: Sintesis Dialektika Tubuh  Yang Mati
Pertunjukan tari kontem­porer tersebut berlangsung kurang-lebih 45 menit. Di panggung, di bagian awal pertunjukan telah berdiri enam orang penari yang berusaha memasuki wilayah privat dalam tubuh masing-masing. Para penari berusaha menemukan dan melakukan dialektika antara tubuh-pikiran dengan ilustrasi musik komputer. 
Hasilnya adalah ketegangan-ketegangan, ketidakstabilan dan ketidakseimbangan sistem tubuh yang distimulasi oleh musik, ruang panggung yang luas,  dan tata cahaya yang monoton. Sesekali, gerak kontras dan stakato juga hadir pada koreografi tersebutdari tubuh-tubuh para penari, yang kemudian diiringi dengan berbagai gerak variasi dari tema gerak yang mereka pilih. Bersumber dari berbagai gerakan dasar silat, tubuh-tubuh tersebut telah memilih tema bagi tubuh itu sendiri yang akhirnya mengalami pemberontakan terhadap kesantunan sehingga menghasilkan ketidakteraturan gerak.
 Di antara tata cahaya  dengan arah backlight dan sidewing untuk menghasilkan kekuatan visual  vocabulary gerak, para penari menuntaskan sintesis mereka dengan melakukan pemecahan berbagai gerak-gerak dasar silat seperti gelek, balabek, langkah ka muko, langkah suruik, dan simpia. Gerakan dasar dari silat yang telah akrab oleh para penari dari ISI Padangpanjang. 
Musik yang mengiringi setiap bagian dari pertunjukan “Kris Is” mencoba memberikan suatu ruang resepsi estetik dan ruang imajinatif selama koreografi berlangsung. Tidak adanya pembedaan antar bagian musik yang dihasilkan dari musik komputer tersebut tak lebih hanya berupa suatu intruksi komando kepada tubuh. Suatu intruksi-intruksi yang direspon oleh pikiran agar tubuh dapat membuat suatu sintesa akhir. 
Inilah dialektika tubuh-pikir yang saya maksud. Bagaimana kesadaran berfungsi untuk merespon berbagai daya analisis yang sangat filosofis yang telah dilakukan oleh tubuh-tubuh. Namun pada karya ini, tubuh para penari menjadi mati layaknya sebuah artefak ditinggalkan oleh jiwa si pemakai.
Secara keseluruhan, kostum yang digunakan oleh para penari berupa pakaian keseharian yang memiliki tingkat fleksibel dan kenyamanan sewaktu bergerak. Hal ini terlihat dari berbagai koreografi gerak yang dihasilkan tidak tampak sedikitpun, bahwa pakaian yang dikenakan membelenggu gerakan para penari. 
Hanya saja, pola dan bahan dari kostum yang dikenakan dapat dilihat sebagai cerminan periodesasi waktu hari ini. Terlihat bahan yang digunakan berupa celana legging, baju berbahan kaos, baju yang kerahnya melebar sedemikian rupa, dan celana berbentuk kulot dengan pisak besar. 
Bukankah berbagai pola dan bahan tersebut menyiratkan mode yang dipakai anak-anak muda hari ini? Seolah menyampaikan pesan terselubung. Inilah serbuan trend mode bagi anak-anak bangsa yang non identitas. Cahaya kemudian fade out secara perlahan menggiring audiens ke dalam gelapnya panggung, menyisakan audiens untuk merasakan teror bunyi. 
Hening hanya dalam hitungan detik, kemudian disusul dengan hadirnya seorang penari yang membelah panggung dengan cahaya panggung yang dibentuk menyerupai sebuah arah. Tetap dengan bentuk tubuh yang sama, bergerak tiada henti. Meminjam dari gerakan dasar silat, penari tersebut kemudian melakukan gerakan dengan alunan musik yang berupaya mencari sebuah disharmoni.
Secara bergantian, para penari memasuki panggung. Mengisi ruang, dan memperlihatkan tipe-tipe gerak yang kontruksinya sama.  Dengan cahaya yang menyinari panggung dengan area yang sebesar gedung pertunjukan Hoerijah Adam tersebut membuat ruang panggung terlalu luas untuk ukuran tubuh penari “Kris Is” yang cenderung bermain di level bawah. Untuk para penari ISI Padangpanjang yang sudah terbiasa dengan speed dan power, serta komposisi dan kerampakan, maka kesulitan yang diperlihatkan adalah ketidaksabaran penari menciptakan sintesis dialektika tersebut, sehingga koreografi yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan terdahulu. Hanya pengurangan penari yang membedakan bentuk garapan tersebut. Akibatnya mudah ditebak, tidak adanya energi yang dapat mengikat saya selaku audiens malam itu, hanya sebuah kesabaran, dan lebatnya hujan di luar gedung saja yang membuat saya bisa bertahan menyaksikan hingga akhir pertunjukan.
Pertunjukan “Kris Is” digarap dalam konsep tari yang secara struktur tidak memiliki kecacatan, karena menekankan pada aspek koreografi tubuh, sehingga kebebasan individu untuk melakukan sintesis sah terwakili dengan kebebasan tersebut. Namun, kematian tubuh personal dengan beragam problematika yang dihadapi membuat tubuh-tubuh tersebut menjadi mati. 
Keragaman vocabulary gerak tercipta tanpa mempertimbangkan susunan terkecil dari struktur tubuh penari tersebut. Penari hanya berkutat pada capaian desain gerak dengan penggunaan ruang besar. Sehingga menciptakan  ulang tradisi kepenarian merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi untuk menjawab kebutuhan penari-penari pada garapan tari kontemporer selanjutnya.

“Kris Is”: Kolaborasi Setengah Hati
Selalu saja kolaborasi antar seniman dari luar ISI Padangpanjang dilakukan ntuk menghasilkan berbagai bentuk karya pertunjukan. “Kris Is”, sebuah karya kolaborasi antara koreografer Arco Renz (Belgia) dan Ali Sukri (Padangpanjang-Indonesia), sedianya akan ditampilkan tanggal 8-9 November 2014 di Jakarta dalam event IDF  (Indonesia Dance Festival). 
Namun, sejauh catatan saya dari pertunjukan yang dihasilkan, kolaborasi yang terjadi bukanlah antara Arco Renz dan Ali Sukri, namun Kolaborasi antar Arco Renz dan silat. Dalam pertunjukan tersebut, yang mendominasi tetap saja gaya dari koreografi Arco Renz dengan ketidakstabilan dan ketidakseimbangan gerak yang diwujudkan dengan menggunakan pemecahan gerak-gerak dasar silat. Tidak terlihat gaya dari seorang Ali Sukri yang selalu menekankan pada gerak akrobatik. Pertanyaannya adalah, dimanakah “Ali Sukri” dalam pertunjukan “Kris Is”,  tersebut? 
Melalui tulisan ini, catatan lainnya dalam pertunjukan ini, seharusnya berbagai pengenalan, pelatihan, dan bentuk tradisi kepenarian hari ini perlu dilakukan dan dimulai oleh para penari di lingkungan ISI Padangpanjang. Dengan menciptakan tradisi kepenarian yang benar-benar dapat menampung berbagai problematika seni hari ini. Sehingga berbagai program kolaborasi selanjutnya dapat dijadikan sebagai garda terdepan untuk menciptakan branding ISI Padangpanjang nantinya.
Upaya dari sisi perencanaan kegiatan ini untuk diperlihatkan kepada Jajaran Pemerintahan Daerah Kota Padangpanjang, civitas Akademika ISI Padangpanjang, dan masyarakat pada malam (1/11) tidaklah diimbangi dengan pengelolaan manajemennya. Seremonial penyambutan Walikota tidaklah disambut dengan penataan ruang di lobby depan gedung serta tidak adanya buku panduan pertunjukan. 
Selain mahasiswa, hanya beberapa dosen dari fakultas seni pertunjukan yang terlihat. Walaupun hanya sekedar memperlihatkan sebuah karya tari kolaborasi, sesuatu yang membanggakan akan dibawa ke Jakarta dalam event Internasional, toh sekedar menata ruang loby dan membuat secarik boklet tidak akan menghabiskan biaya produksi berjuta rupiah dan tidak akan membuat saya dan audiens lainnya mereka-reka konsep koreografi “Kris Is”.

Selamat berdialektika dengan catatan pertunjukan “Kris Is”, ini, dan selamat membanggakan Kota Padangpanjang di kancah Internasional Dance Festival  8-9 November 2014  di Jakarta. 

sumber : http://www.koran.padek.co/read/detail/10849

Tidak ada komentar:

Posting Komentar