Kota Sebagai Pusat Akulturasi Budaya
Akulturasi budaya
di sebuah kota dapat terjadi dengan mudah karena dipengaruhi oleh potensi letak wilayah geografis,
tempat bertemunya berbagai profesi dan latar belakang sosial masyarakatnya. Di
sinilah, peran suatu wilayah sebagai kota memperlihatkan proses akulturasi
tersebut.
Kota Padang, sebagai pusat kegiatan
kesenian dengan keberadaan Taman Budaya, adalah kota terbesar di pesisir barat pulau Sumatera yang merupakan
ibukota dari provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010,
kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 833.562 jiwa yang didominasi oleh
etnis Minangkabau. Etnis lainnya yang bermukim di kota Padang lainnya adalah
Jawa, Tionghoa, Nias, Mentawai, Batak, Aceh, Ambon, Bugis, Madura. dan tamil.
Dengan beragamnya etnis yang menetap di kota ini,
memperlihatkan bahwa masyarakat kota ini dengan sendirinya terbuka menerima
berbagai budaya luar secara selektif. sesuai dengan kepribadian daerahnya.
Masyarakat Sumatera Barat mengenal pepatah “sekali
aia gadang, sekali tapian barubah” yang sering digunakan dalam menjelaskan bahwa
kebudayaan Minangkabau yang dimiliki oleh masyarakat Sumatera Barat, terbuka
terhadap perubahan karena bersifat fleksibel dan alamiah. Bahkan para pemangku
Kebudayaan Daerah Minangkabau sebagaimana di jelaskan oleh Mursal Esten dalam
bukunya Minangkabau Tradisi dan Perubahan menjelaskan dalam sebuah Temu Budaya
(1988) bahwa, Pemangku Kebudayaan Minangkabau menerima kebudayaan tentang
adanya perubahan yang bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan Kebudayaan
Indonesia, karena falsafah “Alam Takambang Jadi Guru” sebagai pencerminan dari
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mereka anut mengatakan “ jika bermain dalam
alam, patah tumbuh hilang berganti, pusaka lama tidak berubah, yang artinya
setiap instrumental dapat berubah namun yang fundamental tak terganti. Pemangku
kebudayan Minangkabau senantiasa mendorong pembentukan kebudayaan Indonesia
baru yang berperan dalam perkembangan kebudayaan dunia modern.
Perkembangan
bentuk teater modern yang berlangsung di Sumatera Barat pada dasarnya,
terbentuk oleh kontak budaya yang berlangsung di masyarakat. Hal ini ditandai
dengan adanya kontak budaya antar etnis berbagai daerah. Seperti pada proses
hadirnya Opera Bangsawan pada masa kolonial di kota Padang, dan diperkenalkannya pertunjukan
Sandiwara oleh siswa-siswa dari Sekolah Raja (Kweekschool) pada awal abad ke 19.
Akulturasi budaya yang terbentuk ini dapat diartikan sebagai
pembauran dua kebudayaan atau lebih yang saling mempengaruhi dalam tatanan
kehidupan di masyarakat. Perubahan sosial yang dipengaruhi oleh hubungan ini
mengakibatkan terjadinya interaksi antar kebudayaan tersebut. Perubahan yang terjadi di dalam teater modern
Sumatera Barat era 1990-an, terdapat dalam cara karya penyajian para sutradara
tersebut. Kota sebagai pusat bertemunya berbagai
etnis yang ada, memberi ruang lebih toleran terhadap hal-hal yang baru,
termasuk karya seni teater.
Kota sebagai pusat akulturasi budaya
dan penerimaan terhadap hal yang baru tersebut, juga ditandai dengan
diperkenalkannya pertunjukan teater oleh Nazif Basir pada tahun 1960-an kepada
khalayak Sumatera Barat, dengan judul “Penggali Intan”. Kemudian, kota Padang
juga mengawali sebagai kota tempat berkumpulnya para sutradara teater yang
mengembangkan bentuk garapannya pada era 1990-an, pertunjukan yang bertolak
dari proses ekperimen, yang dimulai oleh Yusril pada tahun 1989 dengan
mementaskan “O Amuk Kapak”.
Fenomena
ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat ( 2007 ) bahwa, proses gejala sosial dan akulturasi budaya terjadi
jika manusia dalam kebudayaan tertentu ada pengaruh kebudayaan dari daerah lain
yang berbeda sifatnya, kebudayaan asing tersebut akhirnya diakomodasikan dan
terintegrasi ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadian dan
identitas dari kebudayaannya. Hal ini juga sejalan dengan yang dikatakan Saini KM (1993), bahwa teater modern Indonesia adalah produk
dari budaya kota Indonesia. Ini berkenaan dengan sifat masyarakat kota
Indonesia yang pluralistis, ekonomis, dan modernis, yang menghendaki bentuk
teater yang sesuai dengan aspirasi kebudayaan mereka.
Peran
Teater Kampus
Kehidupan teater
kampus Sumatera Barat, telah dimulai pada tahun 1978 oleh Teater Kampus Selatan
Universitas Negeri Padang (pada saat masih menjadi IKIP Padang). Kelompok ini
digerakkan oleh Haris Effendi Thahar, Mustafa Ibrahim, Deslenda, Muharyadi, Refendi Sanjaya.
Namun aktifitas kelompok Teater Kampus Selatan ini redup semenjak tahun 1988,
dan kegiatan terakhir yang pernah diikuti adalah Festival Teater tahun 1987
yang diadakan di Kosgoro Padang.
Kehidupan teater kampus lainnya yang turut meramaikan
panggung teater Sumatera Barat adalah kelompok teater kampus dari Universitas Andalas.
Aktifitas teater kampus ini digerakkan oleh para mahasiswa fakultas sastra
angkatan tahun 83 sampai angkatan tahun 1990 seperti, Ivan Adilla, Syafril (Prel T), (alm)
Yusriwal, Gusdi Sastra, Zuriati, Noni Sukmawati, Irmansyah, Zurmailis, Sastri
Yunizarti Bakry, Yusril, Yumirsal,
Sahrul N, Fira Susanti, Eva Yenita Syam, Nasiruddin, Nur Alamsyah, Ary Sastra,
Andriani dan Almudazir.
Para penggerak teater
kampus ini muncul setelah Wisran Hadi menggagas diadakannya Pertemuan Teater
Mahasiswa (PTM) 89, lewat kegiatan ini, maka lahirlah Teater Langkah
Universitas Andalas yang digerakkan oleh para mahasiswa fakultas sastra. Segera
setelah PTM 89 sukses dilaksanakan, maka pada tahun berikutnya kegiatan ini
kembali dilangsungkan pada tahun 1990 dan 1994. Sebagai indikator perkembangan yang diberikan oleh para
penggerak teater kampus sumatera Barat, terlihat pada upaya menciptakan teater
modern Sumatera Barat berbasiskan pada tradisi penciptaan baru, yakni suatu
cara kerja penyutradaraan teater yang tidak merujuk pada tehnik yang sudah
dilakukan oleh beberapa kelompok teater modern terdahulu di Sumatera Barat.
Berlangsungnya geliat
teater kampus di Unand selain dari Teater langkah, adalah sumbangsih Prell T,
mahasiswa fakultas sastra yang
berusaha mencari bentuk ungkap baru, bersama kelompok Teater Eksperimental
KPDTI (Kelompok Pengkajian dan Dokumentasi Teater Indonesia), beliau
menghadirkan karya-karya teater yang didasarkan pada kerja ekperimen pada
musik, cahaya, tubuh, dan naskah. Karya teater yang
dihasilkan lewat eksperimen ini adalah
Hamba-hamba 3 (1994)
dan Manggaro (1997) yang juga memberikan warna lain dalam penyajian teater
modern Sumatera Barat.
Indikator lainnya, adalah munculnya pertunjukan teater dari
para mahasiswa jurusan teater STSI Padangpanjang yang memiliki kesamaan ekpresi
penyajian, penggunaan tubuh dan
pengolahan benda-benda dalam karya-karya tersebut. Pertunjukan yang
dihasilkan mahasiswa dari STSI Padangpanjang ini, hadir berkat kegiatan
Pertemuan Teater Eksperimental tahun
2000 dan 2002 yang diadakan oleh Universitas Andalas. Berkat kegiatan ini, maka akhirnya memunculkan nama Kurniasih
Zaitun dan Dede Prama Yoza sebagai sutradara teater kampus generasi 2000-an.
Adapun karya mereka berupa karya teater non realis dengan penggunaan tubuh
sebagai pilihan dalam penyajiannya.
Namun sebenarnya, diantara dua nama di atas, sutradara bernama
Tia Setiawaty juga pernah menyajikan beberapa pertunjukan yang menggunakan pengolahan tubuh dalam
pertunjukannya, namun itupun hanya bersifat sementara saja. Beberapa karya yang
pernah dihasilkan adalah “Dekontruksi Perawan” ditampilkan dalam kegiatan Pekan
Apresiasi Teater di Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatera Barat tahun 2006,
‘The Female Earth” ditampilkan di Graha Bakti Budaya tahun 2007, dan “Ketika
Sel dan Tulang Bekerja” ditampilkan di Padangpanjang tahun 2007.
Peran
Lembaga Kebudayaan
Hadirnya lembaga kebudayaan maupun yayasan seni yang sejenis
di Indonesia turut berperan serta dalam pengembangan kekaryaan
kelompok-kelompok kesenian di Indonesia, selain itu, juga turut mewarnai
perkembangan teater selama ini. Lembaga kesenian ini dalam pemberian bantuan
(hibah) bagi kelompok-kelompok kesenian yang ada, memiliki batasan-batasan
tertentu agar kelompok yang bekerjasama
mengembangkan tujuan dan misi dari lembaga kebudayaan tersebut. Adapun
kerjasama yang sering dilakukan dengan jalan memberikan biaya produksi dalam
penggarapan karya seni suatu kelompok kesenian. Lembaga kesenian yang pernah
membiaya aktifitas kelompok kesenian di Indonesia adalah Yayasan Hivos dari
Belanda, Yayasan Seni Kelola dari Indonesia, Goethe Intitute dari Jerman, dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Yayasan Seni Kelola, adalah
salah satu lembaga kesenian yang ada di Indonesia. Dengan program pemberian
hibah bantuan biaya produksi untuk karya inovasi dan program keliling,
kehadiran Yayasan Seni Kelola di Indonesia memberikan kontribusi dalam
menumbuhkembangkan teater modern, teater modern yang penuh dengan pembaruan
media ungkap, terutama penggunaan tubuh dalam penyajian pertunjukannya.
mengenalkan teater modern Sumatera Barat
tersebut. Dengan program karya
inovasi, maka akhirnya Yayasan Seni Kelola juga telah terlibat secara tidak langsung dalam proses tumbuh kembangnya teater modern
Sumatera Barat dekade 200-an.
Kelompok teater yang pertama kali mendapatkan hibah dari
Yayasan Seni Kelola ini di Sumatera Barat adalah kelompok teater KSST Noktah
dengan judul garapan “Negeri yang Terkubur” pada tahun 2002, kemudian mendapatkan kembali
program hibah dai Yayasan Seni Kelola pada tahun 2005 dengan
garapan “Perempuan itu Bernama Sabai”,
setelah itu diikuti oleh kelompok teater Sakata Padang Panjang dengan garapan
“Dekontruksi Perawan” tahun 2007, kelompok teater Hitam Putih dengan garapan
“Tangga” tahun 2008, garapan “Melintas dalam Samar” tahun 2009 dan kelompok
teater Tambologi dengan garapan “Tambo Rantau”
tahun 2010.
Empat kelompok teater di atas, bantuan yang diberikan masuk
dalam program hibah karya Inovasi Yayasan Seni Kelola. Dalam penyajian karya
masing-masing kelompok tersebut , tidak satupun pementasan yang dihasilkan berbentuk teater realis. Karya yang disajikan kepada publik Sumatera
Barat dari empat kelompok diatas, berupa pertunjukan teater yang mengedepankan pengolahan
tubuh, penggabungan kesenian tradisi
seperti silat, teater tutur Tupai
Jenjang, kaba dan randai. Dari hal
diatas tampak bahwa karya-karya yang dihasilkan oleh seniman pencipta secara
bentuk sudah di batasi oleh gaya tertentu dari lembaga kebudayaan sebagai
penyandang dana produksi.
Kerjasama Antar Seniman Teater.
Hasil interaksi antara seniman teater
yang ada di pulau Jawa, dengan seniman teater yang ada di Sumatera Barat, turut berperan serta dalam pengembangan kekaryaan para sutradara dan aktor yang ada di
Sumatera Barat. Seniman teater tersebut beberapa
diantaranya bahkan pernah memberikan workshop, pertunjukan, sekaligus sebagai
pembicara dalam kegiatan teater yang pernah diselenggarakan di Sumatera Barat.
Interaksi tersebut antara lain;
Kehadiran DinDon WS
Pada tahun 1998, setelah penampilan
Teater Kubur dengan pertunjukan “Sandiwara Doll” di Kota Jambi, lewat hubungan
pertemanan, kemudian dilanjutkan dengan kerjasama yang disponsori oleh ketua
Jurusan Teater Syamsinar Saleh S.Pd, Yusril meminta Dindon WS dari Teater Kubur
untuk dapat memberikan pelatihan dan pengetahuan ekplorasi tubuh bagi mahasiswa
Jurusan Teater STSI Padangpanjang. Untuk pertama kalinya, mahasiswa jurusan teater tahun angkatan 1997, 1998 dan
1999 mengenal seorang Dindon WS.
Selama di Padangpanjang, Dindon WS
memberikan pelatihan kepada peserta materi
untuk dapat “membongkar tubuh”, materi ini dilatihkan kepada peserta
selama 3 hari. Inilah pertama kalinya Jurusan Teater STSI Padangpanjang
mendapatkan pelatihan dan mengetahui informasi perkembangan teater modern di
Jakarta.
Pada tahun 2000, Dindon WS kembali datang ke
Sumatera Barat. Kedatangannya tersebut kali ini, sebagai pembicara dalam
kegiatan Pertemuan Teater Eksperimental Mahasiswa di Universitas Andalas
(PTEMN). Hadir juga Pada waktu pembicara lainnya, yakni; Wisran Hadi (sutradara Bumi Teater), Ivan Adilla (Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Andalas), dan
Nasrul Azwar (Aliansi Komunitas Seni Indonesia).
Tahun 2000: Teater Api Surabaya tampil di Padang dan
Padangpanjang.
Tahun
2000, kelompok Teater Api Surabaya menampilkan pertunjukan teater berjudul
“Caligula” sutradara Luhur Kayungga di Sumatera Barat. Kota yang dikunjungi
adalah Padang dan Padangpanjang. Pertunjukan di Kota Padang dilangsungkan di
Taman Budaya Sumatera Barat di Gedung Teater Tertutup. Pertunjukan “Caligula” pada dasarnya merupakan pertunjukan kolosal
yang membutuhkan banyak para pemain, namun oleh Teater Api Surabaya, hanya
dipentaskan oleh dua orang aktor yang mengolah tubuh dengan bantuan benda-benda
seperti kayu, ember logam dan kain serta air. Menurut pengamatan penulis,
inilah pertamakalinya, pertunjukan teater yang menggunakan pengolahan
tubuh dari kelompok teater berasal dari
Jawa, ditampilkan kepada khalayak seniman teater Sumatera Barat. Segera sesudah
penampilan di kota Padang, Teater Api menampilkan pertunjukan “Caligula” ke
Padangpanjang untuk diapresiasi oleh mahasiswa dan dosen teater STSI
Padangpanjang.
Tahun 2000: kelompok teater FBSS Unpad menampilkan “The Death
Of Karna” di Padang
Pada tahun 2000, kegiatan Pertemuan
Teater Eksperimental Mahasiswa Nasional (PTEMN) dilaksanakan oleh Universitas
Andalas. Dari beberapa kelompok teater kampus yang diundang, kelompok
teater Gelanggang Seni Satra Teater dan
Film (GSSTF) Universitas Padjajaran Bandung merupakan satu-satunya kelompok
Teater Kampus dari luar Sumatera. Kelompok
GSSTF ini membawakan pertunjukan “The Death Of Karna” sutradara Zeni
M.Nugroho, yang menggabungkan pengolahan gerak tubuh para aktor dan narasi dari
teks naskah lakon. Metafor-metafor yang disajikan menggunakan benda-benda
seperti sapu, kain, dan gong.
Tahun 2003: Kolaboratorium Teater Muda mengikuti Temu Teater
Se-Indonesia di Teater Garasi Yogyakarta.
Pada tahun 2003, atas undangan dari
Teater Garasi, berangkatlah anggota dari Kolaboratorium Teater Muda
Padangpanjang, mereka adalah Mohammad Rasyidin dan Dede Prama Yoza, untuk
mengikuti kegiatan bertajuk Temu Teater Se-Indonesia.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Dede
Prama Yoza ,sekembali dari kegiatan tersebut di Padangpanjang, selama dalam
kegiatan tersebut mereka mendapatkan pelatihan mengenai pengolahan tubuh, dan
membahas perkembangan teater modern yang sedang berkembang, sekaligus
memperkenalkan keberadaan Teater Garasi di kalangan Teaterawan Indonesia. Di Padangpanjang,
setelah mengikuiti kegiatan tersebut, Dede Prama Yoza dan Mohammad Rasyidin
kemudian mensosialisasikan materi yang didapatkan tersebut kepada para
mahasiswa dan anggota kelompoknya.
Tahun 2003: Teater Garasi Yogyakarta tampil di Padangpanjang.
Pada tahun 2003, teater Garasi
menampilkan Waktu Batu #2; Ritus
Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa yang Terbelah”
(2003) di Gedung Teater Hoerijah Adam STSI Padangpanjang.
Pertunjukan ini sebelum melakukan pentas di Padangpanjang, terlebih dahulu
melakukan pementasan di Gedung Sunan Ambu STSI Bandung.
Pertunjukan ini, berusaha menghadirkan pencapaian
artistik dengan berbagai penggunaan metafor dan benda-benda serta pengolahan
tubuh para aktor mereka. Setelah pertunjukan, Teater Garasi kemudian memberikan
workshop pelatihan tubuh. Pelatihan tersebut diikuti oleh peserta dari Padang
dan Padangpanjang. Materi yang diberikan, adalah tehnik butoh, dan pengolahan
gerak. Pada saat istirahat, para peserta dan sutradara yang ada terlibat
diskusi pendek bersama Yudi Ahmad Tajudin selaku sutradara dan pemberi materi workshop.
Tahun 2008: Workshop bersama Tony Boer di Padangpanjang.
Tahun 2008, Jurusan Teater ISI
Padangpanjang kembali mengadakan kegiatan Pekan Apresiasi Teaterke 3. Kegiatan
yang dilaksanakan untuk mempertemukan kelompok teater kampus non-seni, teater
independen dan teater kampus dari perguruan tinggi seni selama satu pekan,
program kegiatan PAT ini meliputi pertunjukan, seminar dan workshop.
Pada kegiatan Pat ke-3 ini,
digelarlah workshop pelatihan tubuh, dan Tony Broer adalah pemateri dalam
kegiatan tersebut. Toni Broer seorang
tenaga pengajar di jurusan teater STSI Bandung yang mengawali proses keaktoran
bersama Teater Payung Hitam pimpinan Rachman Sabur, dan dikenal berkat
kemampuannya mengolah tubuh dalam
memerankan tokoh Kaspar dalam pertunjukan ”Kaspar”. Dalam workshop ini,
Tony Broer memberikan pelatihan tubuh, yang ia namakan sebagai latihan tubuh
personal, dengan menggunakan tekhnik Butoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar