Senin, 05 Agustus 2013

Mencari pemetaan itu

Faktor penggunaan tubuh sebagai pilihan ekpresi dalam sajian teater di Sumatera Barat

 
Kota Sebagai Pusat Akulturasi Budaya
      Akulturasi budaya di sebuah kota dapat terjadi dengan mudah karena dipengaruhi oleh potensi letak wilayah geografis, tempat bertemunya berbagai profesi dan latar belakang sosial masyarakatnya. Di sinilah, peran suatu wilayah sebagai kota memperlihatkan proses akulturasi tersebut.
Kota Padang, sebagai pusat kegiatan kesenian dengan keberadaan Taman Budaya, adalah kota terbesar di pesisir barat pulau Sumatera yang merupakan ibukota dari provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 833.562 jiwa yang didominasi oleh etnis Minangkabau. Etnis lainnya yang bermukim di kota Padang lainnya adalah Jawa, Tionghoa, Nias, Mentawai, Batak, Aceh, Ambon, Bugis, Madura. dan tamil.
Dengan beragamnya etnis yang menetap di kota ini, memperlihatkan bahwa masyarakat kota ini dengan sendirinya terbuka menerima berbagai budaya luar secara selektif. sesuai dengan kepribadian daerahnya. Masyarakat Sumatera Barat mengenal pepatah “sekali aia gadang, sekali tapian barubah” yang sering digunakan dalam menjelaskan bahwa kebudayaan Minangkabau yang dimiliki oleh masyarakat Sumatera Barat, terbuka terhadap perubahan karena bersifat fleksibel dan alamiah. Bahkan para pemangku Kebudayaan Daerah Minangkabau sebagaimana di jelaskan oleh Mursal Esten dalam bukunya Minangkabau Tradisi dan Perubahan menjelaskan dalam sebuah Temu Budaya (1988) bahwa, Pemangku Kebudayaan Minangkabau menerima kebudayaan tentang adanya perubahan yang bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan Kebudayaan Indonesia, karena falsafah “Alam Takambang Jadi Guru” sebagai pencerminan dari ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mereka anut mengatakan “ jika bermain dalam alam, patah tumbuh hilang berganti, pusaka lama tidak berubah, yang artinya setiap instrumental dapat berubah namun yang fundamental tak terganti. Pemangku kebudayan Minangkabau senantiasa mendorong pembentukan kebudayaan Indonesia baru yang berperan dalam perkembangan kebudayaan dunia modern.
      Perkembangan bentuk teater modern yang berlangsung di Sumatera Barat pada dasarnya, terbentuk oleh kontak budaya yang berlangsung di masyarakat. Hal ini ditandai dengan adanya kontak budaya antar etnis berbagai daerah. Seperti pada proses hadirnya Opera Bangsawan pada masa kolonial di kota Padang, dan diperkenalkannya pertunjukan Sandiwara oleh siswa-siswa dari Sekolah Raja (Kweekschool) pada awal abad ke 19.
Akulturasi budaya yang terbentuk ini dapat diartikan sebagai pembauran dua kebudayaan atau lebih yang saling mempengaruhi dalam tatanan kehidupan di masyarakat. Perubahan sosial yang dipengaruhi oleh hubungan ini mengakibatkan terjadinya interaksi antar kebudayaan tersebut. Perubahan yang terjadi di dalam teater modern Sumatera Barat era 1990-an, terdapat dalam cara karya penyajian para sutradara tersebut. Kota sebagai pusat bertemunya berbagai etnis yang ada, memberi ruang lebih toleran terhadap hal-hal yang baru, termasuk karya seni teater.
Kota sebagai pusat akulturasi budaya dan penerimaan terhadap hal yang baru tersebut, juga ditandai dengan diperkenalkannya pertunjukan teater oleh Nazif Basir pada tahun 1960-an kepada khalayak Sumatera Barat, dengan judul “Penggali Intan”. Kemudian, kota Padang juga mengawali sebagai kota tempat berkumpulnya para sutradara teater yang mengembangkan bentuk garapannya pada era 1990-an, pertunjukan yang bertolak dari proses ekperimen, yang dimulai oleh Yusril pada tahun 1989 dengan mementaskan “O Amuk Kapak”. 
 Fenomena ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat ( 2007 ) bahwa, proses gejala sosial dan akulturasi budaya terjadi jika manusia dalam kebudayaan tertentu ada pengaruh kebudayaan dari daerah lain yang berbeda sifatnya, kebudayaan asing tersebut akhirnya diakomodasikan dan terintegrasi ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadian dan identitas dari kebudayaannya. Hal ini juga sejalan dengan yang dikatakan Saini KM (1993), bahwa teater modern Indonesia adalah produk dari budaya kota Indonesia. Ini berkenaan dengan sifat masyarakat kota Indonesia yang pluralistis, ekonomis, dan modernis, yang menghendaki bentuk teater yang sesuai dengan aspirasi kebudayaan mereka.        
Peran Teater Kampus
      Kehidupan teater kampus Sumatera Barat, telah dimulai pada tahun 1978 oleh Teater Kampus Selatan Universitas Negeri Padang (pada saat masih menjadi IKIP Padang). Kelompok ini digerakkan oleh Haris Effendi Thahar, Mustafa Ibrahim, Deslenda, Muharyadi, Refendi Sanjaya. Namun aktifitas kelompok Teater Kampus Selatan ini redup semenjak tahun 1988, dan kegiatan terakhir yang pernah diikuti adalah Festival Teater tahun 1987 yang diadakan di Kosgoro Padang.
Kehidupan teater kampus lainnya yang turut meramaikan panggung teater Sumatera Barat adalah kelompok teater kampus dari Universitas Andalas. Aktifitas teater kampus ini digerakkan oleh para mahasiswa fakultas sastra angkatan tahun 83 sampai angkatan tahun 1990 seperti,  Ivan Adilla, Syafril (Prel T), (alm) Yusriwal, Gusdi Sastra, Zuriati, Noni Sukmawati, Irmansyah, Zurmailis, Sastri Yunizarti Bakry,  Yusril, Yumirsal, Sahrul N, Fira Susanti, Eva Yenita Syam, Nasiruddin, Nur Alamsyah, Ary Sastra, Andriani dan Almudazir.
 Para penggerak teater kampus ini muncul setelah Wisran Hadi menggagas diadakannya Pertemuan Teater Mahasiswa (PTM) 89, lewat kegiatan ini, maka lahirlah Teater Langkah Universitas Andalas yang digerakkan oleh para mahasiswa fakultas sastra. Segera setelah PTM 89 sukses dilaksanakan, maka pada tahun berikutnya kegiatan ini kembali dilangsungkan pada tahun 1990 dan 1994. Sebagai indikator perkembangan yang diberikan oleh para penggerak teater kampus sumatera Barat, terlihat pada upaya menciptakan teater modern Sumatera Barat berbasiskan pada tradisi penciptaan baru, yakni suatu cara kerja penyutradaraan teater yang tidak merujuk pada tehnik yang sudah dilakukan oleh beberapa kelompok teater modern terdahulu di Sumatera Barat.
 Berlangsungnya geliat teater kampus di Unand selain dari Teater langkah, adalah sumbangsih Prell T, mahasiswa fakultas sastra yang berusaha mencari bentuk ungkap baru, bersama kelompok Teater Eksperimental KPDTI (Kelompok Pengkajian dan Dokumentasi Teater Indonesia), beliau menghadirkan karya-karya teater yang didasarkan pada kerja ekperimen pada musik, cahaya, tubuh, dan naskah. Karya teater yang dihasilkan lewat eksperimen  ini  adalah  Hamba-hamba 3 (1994) dan Manggaro (1997) yang juga memberikan warna lain dalam penyajian teater modern Sumatera Barat.
Indikator lainnya, adalah munculnya pertunjukan teater dari para mahasiswa jurusan teater STSI Padangpanjang yang memiliki kesamaan ekpresi penyajian, penggunaan tubuh dan  pengolahan benda-benda dalam karya-karya tersebut. Pertunjukan yang dihasilkan mahasiswa dari STSI Padangpanjang ini, hadir berkat kegiatan Pertemuan Teater Eksperimental  tahun 2000 dan 2002 yang diadakan oleh Universitas Andalas. Berkat kegiatan ini,  maka akhirnya memunculkan nama Kurniasih Zaitun dan Dede Prama Yoza sebagai sutradara teater kampus generasi 2000-an. Adapun karya mereka berupa karya teater non realis dengan penggunaan tubuh sebagai pilihan dalam penyajiannya.
Namun sebenarnya, diantara dua nama di atas, sutradara bernama Tia Setiawaty juga pernah menyajikan beberapa pertunjukan  yang menggunakan pengolahan tubuh dalam pertunjukannya, namun itupun hanya bersifat sementara saja. Beberapa karya yang pernah dihasilkan adalah “Dekontruksi Perawan” ditampilkan dalam kegiatan Pekan Apresiasi Teater di Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatera Barat tahun 2006, ‘The Female Earth” ditampilkan di Graha Bakti Budaya tahun 2007, dan “Ketika Sel dan Tulang Bekerja” ditampilkan di Padangpanjang tahun 2007.
Peran Lembaga Kebudayaan
Hadirnya lembaga kebudayaan maupun yayasan seni yang sejenis di Indonesia turut berperan serta dalam pengembangan kekaryaan kelompok-kelompok kesenian di Indonesia, selain itu, juga turut mewarnai perkembangan teater selama ini. Lembaga kesenian ini dalam pemberian bantuan (hibah) bagi kelompok-kelompok kesenian yang ada, memiliki batasan-batasan tertentu agar kelompok yang bekerjasama  mengembangkan tujuan dan misi dari lembaga kebudayaan tersebut. Adapun kerjasama yang sering dilakukan dengan jalan memberikan biaya produksi dalam penggarapan karya seni suatu kelompok kesenian. Lembaga kesenian yang pernah membiaya aktifitas kelompok kesenian di Indonesia adalah Yayasan Hivos dari Belanda, Yayasan Seni Kelola dari Indonesia, Goethe Intitute dari Jerman, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Yayasan Seni Kelola, adalah salah satu lembaga kesenian yang ada di Indonesia. Dengan program pemberian hibah bantuan biaya produksi untuk karya inovasi dan program keliling, kehadiran Yayasan Seni Kelola di Indonesia memberikan kontribusi dalam menumbuhkembangkan teater modern, teater modern yang penuh dengan pembaruan media ungkap, terutama penggunaan tubuh dalam penyajian pertunjukannya. mengenalkan teater modern Sumatera Barat tersebut. Dengan  program karya inovasi,  maka akhirnya Yayasan Seni Kelola juga telah terlibat secara tidak langsung dalam proses tumbuh kembangnya teater modern Sumatera Barat dekade 200-an.
Kelompok teater yang pertama kali mendapatkan hibah dari Yayasan Seni Kelola ini di Sumatera Barat adalah kelompok teater KSST Noktah dengan judul garapan “Negeri yang Terkubur” pada tahun 2002, kemudian mendapatkan kembali program hibah dai Yayasan Seni Kelola pada tahun 2005  dengan garapan “Perempuan itu Bernama Sabai”, setelah itu diikuti oleh kelompok teater Sakata Padang Panjang dengan garapan “Dekontruksi Perawan” tahun 2007, kelompok teater Hitam Putih dengan garapan “Tangga” tahun 2008, garapan “Melintas dalam Samar” tahun 2009 dan kelompok teater Tambologi dengan garapan “Tambo Rantau” tahun 2010.
Empat kelompok teater di atas, bantuan yang diberikan masuk dalam program hibah karya Inovasi Yayasan Seni Kelola. Dalam penyajian karya masing-masing kelompok tersebut , tidak satupun pementasan yang dihasilkan berbentuk teater realis. Karya yang disajikan kepada publik Sumatera Barat dari empat kelompok diatas, berupa pertunjukan teater yang mengedepankan pengolahan tubuh, penggabungan kesenian tradisi  seperti silat, teater tutur Tupai Jenjang, kaba dan randai.  Dari hal diatas tampak bahwa karya-karya yang dihasilkan oleh seniman pencipta secara bentuk sudah di batasi oleh gaya tertentu dari lembaga kebudayaan sebagai penyandang dana produksi. 


 Kerjasama Antar Seniman Teater.
Hasil interaksi antara seniman teater yang ada di pulau Jawa, dengan seniman teater yang ada di Sumatera Barat, turut berperan serta dalam pengembangan kekaryaan para sutradara dan aktor yang ada di Sumatera Barat. Seniman teater tersebut beberapa diantaranya bahkan pernah memberikan workshop, pertunjukan, sekaligus sebagai pembicara dalam kegiatan teater yang pernah diselenggarakan di Sumatera Barat. Interaksi tersebut antara lain;
Kehadiran DinDon WS
Pada tahun 1998, setelah penampilan Teater Kubur dengan pertunjukan “Sandiwara Doll” di Kota Jambi, lewat hubungan pertemanan, kemudian dilanjutkan dengan kerjasama yang disponsori oleh ketua Jurusan Teater Syamsinar Saleh S.Pd, Yusril meminta Dindon WS dari Teater Kubur untuk dapat memberikan pelatihan dan pengetahuan ekplorasi tubuh bagi mahasiswa Jurusan Teater STSI Padangpanjang. Untuk pertama kalinya, mahasiswa  jurusan teater tahun angkatan 1997, 1998 dan 1999 mengenal seorang Dindon WS.
Selama di Padangpanjang, Dindon WS memberikan pelatihan kepada peserta materi  untuk dapat “membongkar tubuh”, materi ini dilatihkan kepada peserta selama 3 hari. Inilah pertama kalinya Jurusan Teater STSI Padangpanjang mendapatkan pelatihan dan mengetahui informasi perkembangan teater modern di Jakarta.
 Pada tahun 2000, Dindon WS kembali datang ke Sumatera Barat. Kedatangannya tersebut kali ini, sebagai pembicara dalam kegiatan Pertemuan Teater Eksperimental Mahasiswa di Universitas Andalas (PTEMN). Hadir juga Pada waktu pembicara lainnya, yakni; Wisran Hadi (sutradara Bumi Teater),  Ivan Adilla (Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Andalas), dan Nasrul Azwar (Aliansi Komunitas Seni Indonesia).
Tahun 2000: Teater Api Surabaya tampil di Padang dan Padangpanjang.
Tahun 2000, kelompok Teater Api Surabaya menampilkan pertunjukan teater berjudul “Caligula” sutradara Luhur Kayungga di Sumatera Barat. Kota yang dikunjungi adalah Padang dan Padangpanjang. Pertunjukan di Kota Padang dilangsungkan di Taman Budaya Sumatera Barat di Gedung Teater Tertutup. Pertunjukan “Caligula”  pada dasarnya merupakan pertunjukan kolosal yang membutuhkan banyak para pemain, namun oleh Teater Api Surabaya, hanya dipentaskan oleh dua orang aktor yang mengolah tubuh dengan bantuan benda-benda seperti kayu, ember logam dan kain serta air. Menurut pengamatan penulis, inilah pertamakalinya, pertunjukan teater yang menggunakan pengolahan tubuh  dari kelompok teater berasal dari Jawa, ditampilkan kepada khalayak seniman teater Sumatera Barat. Segera sesudah penampilan di kota Padang, Teater Api menampilkan pertunjukan “Caligula” ke Padangpanjang untuk diapresiasi oleh mahasiswa dan dosen teater STSI Padangpanjang.
Tahun 2000: kelompok teater FBSS Unpad menampilkan “The Death Of Karna” di Padang
Pada tahun 2000, kegiatan Pertemuan Teater Eksperimental Mahasiswa Nasional (PTEMN) dilaksanakan oleh Universitas Andalas. Dari beberapa kelompok teater kampus yang diundang, kelompok teater  Gelanggang Seni Satra Teater dan Film (GSSTF) Universitas Padjajaran Bandung merupakan satu-satunya kelompok Teater Kampus dari luar Sumatera. Kelompok  GSSTF ini membawakan pertunjukan “The Death Of Karna” sutradara Zeni M.Nugroho, yang menggabungkan pengolahan gerak tubuh para aktor dan narasi dari teks naskah lakon. Metafor-metafor yang disajikan menggunakan benda-benda seperti sapu, kain, dan gong.
Tahun 2003: Kolaboratorium Teater Muda mengikuti Temu Teater Se-Indonesia di Teater Garasi Yogyakarta.
Pada tahun 2003, atas undangan dari Teater Garasi, berangkatlah anggota dari Kolaboratorium Teater Muda Padangpanjang, mereka adalah Mohammad Rasyidin dan Dede Prama Yoza, untuk mengikuti kegiatan bertajuk Temu Teater Se-Indonesia.
 Seperti yang pernah diungkapkan oleh Dede Prama Yoza ,sekembali dari kegiatan tersebut di Padangpanjang, selama dalam kegiatan tersebut mereka mendapatkan pelatihan mengenai pengolahan tubuh, dan membahas perkembangan teater modern yang sedang berkembang, sekaligus memperkenalkan keberadaan Teater Garasi di kalangan Teaterawan Indonesia. Di Padangpanjang, setelah mengikuiti kegiatan tersebut, Dede Prama Yoza dan Mohammad Rasyidin kemudian mensosialisasikan materi yang didapatkan tersebut kepada para mahasiswa dan anggota kelompoknya.
Tahun 2003: Teater Garasi Yogyakarta tampil di Padangpanjang.
Pada tahun 2003, teater Garasi menampilkan Waktu Batu #2; Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa yang Terbelah” (2003) di Gedung Teater Hoerijah Adam STSI Padangpanjang. Pertunjukan ini sebelum melakukan pentas di Padangpanjang, terlebih dahulu melakukan pementasan di Gedung Sunan Ambu STSI Bandung.
Pertunjukan ini, berusaha menghadirkan pencapaian artistik dengan berbagai penggunaan metafor dan benda-benda serta pengolahan tubuh para aktor mereka. Setelah pertunjukan, Teater Garasi kemudian memberikan workshop pelatihan tubuh. Pelatihan tersebut diikuti oleh peserta dari Padang dan Padangpanjang. Materi yang diberikan, adalah tehnik butoh, dan pengolahan gerak. Pada saat istirahat, para peserta dan sutradara yang ada terlibat diskusi pendek bersama Yudi Ahmad Tajudin selaku sutradara  dan pemberi materi workshop.
Tahun 2008: Workshop bersama Tony Boer di Padangpanjang.
Tahun 2008, Jurusan Teater ISI Padangpanjang kembali mengadakan kegiatan Pekan Apresiasi Teaterke 3. Kegiatan yang dilaksanakan untuk mempertemukan kelompok teater kampus non-seni, teater independen dan teater kampus dari perguruan tinggi seni selama satu pekan, program kegiatan PAT ini meliputi pertunjukan, seminar dan workshop.
Pada kegiatan Pat ke-3 ini, digelarlah workshop pelatihan tubuh, dan Tony Broer adalah pemateri dalam kegiatan  tersebut. Toni Broer seorang tenaga pengajar di jurusan teater STSI Bandung yang mengawali proses keaktoran bersama Teater Payung Hitam pimpinan Rachman Sabur, dan dikenal berkat kemampuannya mengolah tubuh dalam  memerankan tokoh Kaspar dalam pertunjukan ”Kaspar”. Dalam workshop ini, Tony Broer memberikan pelatihan tubuh, yang ia namakan sebagai latihan tubuh personal, dengan menggunakan tekhnik Butoh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar