Senin, 05 Agustus 2013

Tubuh, tranformasi kelatahan atau pilihan gaya? (mencermati ekpresi sajian pada teater modern Sumatera Barat)


Berbagai kondisi perubahan yang terjadi di masyarakat turut mempengaruhi perubahan cara penyajian teater di Indonesia. perubahan tersebut sebagai salah satu upaya agar pertunjukan teater dapat terus dinikmati oleh masyarakatnya.
Dalam pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa pembentukan teater modern di Sumatera Barat seiring dengan perubahan sosial yang terjadi. Umar Kayam (1981) berpendapat bahwa, kesenian dapat berkembang dan berubah sesuai dengan kondisi dari kebudayaan itu sendiri. Syafri Sairin (2002) lebih lanjut mempertegas pendapat tersebut yang mengatakan bahwa, Kebudayaan selalu mengalami suatu perubahan dari waktu ke waktu lambat atau cepat suatu perubahan tergantung dari dinamika pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, berubah adalah sifat utama dari kebudayaan. Kebudayaan selalu berubah menyesuaikan diri dengan munculnya gagasan baru pada masyarakat pendukung kebudayaan itu .
Hal tersebut juga sejalan dengan apa yang diungkapkan Alvin Boskof, bahwa perkembangan seni pertunjukan pada umumnya disebabkan oleh adanya pengaruh dari budaya luar yang oleh Alvin Boskoff (dalam Soedarsono, 2001) disebutnya sebagai akibat pengaruh eksternal. Dengan mengetahui faktor pembentukan tersebut di Sumatera Barat, maka akan di dapatkan gambaran yang berguna sebagai sebuah analisis.
            Kehadiran teater modern di Sumatera Barat, seperti yang sudah pernah saya jelaskan sebelumnya, telah dimulai perkembangannya di pusat kota Padang oleh Nazif Basir, hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa teater modern di Indonesia adalah produk orang-orang kota, diciptakan oleh penduduk kota dan untuk penduduk kota pula. Hal ini memperlihatkan bahwa bentuk kesenian teater modern telah berupaya mengenalkan dirinya di tengah-tengah masyarakat Sumatera Barat.
Memasuki dekade 1990-an, di kota Padang tumbuhlah suatu gerakan penciptaan teater yang berangkat dari kerja ekperimen terhadap elemen pendukung sebuah pertunjukan, seperti pada tubuh aktor, naskah maupun artistik sebagai pilihan ekpresi. Pada tahun 1989, Yusril menjadikan tubuh sebagai sarana ekpresi pemanggungan teater modern di Sumatera Barat, dengan melakukan ekplorasi terhadap tubuh para aktor, yang  kemudian  terus berlanjut hingga tahun 2000-an
Memasuki tahun 2000-an, penyajian teater seperti ini terus bermunculan. Pertunjukan yang dihasilkan berupaya menemukan caranya tersendiri, dengan melakukan pengolahan-pengolahan tubuh para aktor. Kelompok yang menyajikan pertunjukan tersebut; Kolaboratorium Teater Muda, Ranah Teater Padang, Komunitas Seni Hitam Putih, KSST Noktah, Teater Sakata, Teater Katarsis dan LPPT Tambologi.
Melacak kemandirian pergumulan tubuh tersebut.
Dalam pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa perkembangan bentuk teater teater modern Sumatera Barat mengikuti  proses perubahan yang terjadi di dalam kehidupan  masyarakatnya. Perkembangan yang terjadi dalam kehidupan teater Sumatera Barat memunculkan gerakan baru, suatu cara ekpresi yang mencoba mewakili semangat zaman.
Sejalan dengan itu Pietr Sztompka (2004) menyatakan, secara ontology dapat dikatakan bahwa bahwa masyarakat tak berada dalam keadaan tetap terus-menerus. Semua realitas sosial senantiasa berubah dengan derajat kecepatan, intensitas, irama dan tempo yang berbeda. Bukan kebetulan jika orang berbicara mengenai kehidupan sosial. Karena kehidupan adalah gerakan dan perubahan, maka bila berhenti berarti tak ada lagi kehidupan melainkan merupakan suatu keadaan yang sama sekali berbeda-yang disebut ketiadaan atau kematian.
Perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat tersebut tentunya dapat mengarah ke suatu bentuk pencapaian yang mengalami kemajuan atau dapat saja berupa suatu bentuk kemunduran. Namun proses perubahan yang terjadi di dalam suatu masyarakat dan kebudayaannya cenderung membentuk kearah pola-pola kemajuan dan perkembangan sebagai sebuah identitas masyarakatnya. Hal senada ini juga dijelaskan oleh Mursal Esten ( 1993) yang menyatakan bahwa kebudayaan merupakan reaksi umum terhadap perubahan kondisi kehidupan manusia, dalam suatu proses pembaharuan yang terus menerus terhadap tradisi, yang memung­kinkan kondisi kehidupan manusia menjadi lebih baik.
Dalam proses kebudayaan, manusia sebagai mahluk sosial bereaksi terhadap berbagai bentuk stimulus yang ada di lingkungannya. Bentuk stimulus tersebut melibatkan berbagai fungsi indera tubuhnya. Seluruh stimulus terhadap individu tersebut juga melibatkan imajinasi dan intuisi yang ada di dalam masing-masing individu.
  Bagi seorang seniman, imajinasi dan intuisi merupakan dua hal yang saling berkaitan di dalam proses kreatifitas penciptaan karya-karyanya. Jakob Soemardjo ( 2000 ) mengungkapkan bahwa  kreatifitas bertolak dari yang sudah ada, dari kebudayaan, tradisi. Kreatifitas bersifat dinamis, terbuka bebas, tidak biasa, penuh resiko (tidak aman dan nyaman), serta transenden. Kreatifitas bersifat interpenetrasi seluruh potensi mental manusia.
Perkembangan bentuk yang terjadi pada kelompok-kelompok teater Sumatera Barat merupakan suatu usaha untuk dapat memberikan identitas kekaryaan kelompok  di dalam peta teater Sumatera Barat dan Indonesia. Perkembangan ini dapat berkaitan pula dengan semangat perubahan yang ingin menciptakan suatu kondisi teater baru Sumatera Barat. Tjetjep Rohendi Rohidi berpendapat bahwa faktor-faktor penyebab perubahan itu bisa datang dari luar (yang diterima), atau muncul dari dalam pendukung kebudayaan itu sendiri ( 2002). Pola-pola perkembangan bentuk ini ditandai dengan hadirnya daya kreatifitas dan kesadaran untuk memunculkan kembali kearifan lokal di dalam pertunjukan teater dan menghadirkannya ke hadapan penonton. Dalam hal ini, ada dua hal yang mendukung pembentukan tersebut yaitu faktor internal dan eksternal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar