Berbagai kondisi perubahan yang terjadi di masyarakat turut
mempengaruhi perubahan cara penyajian teater di Indonesia. perubahan tersebut sebagai
salah satu upaya agar pertunjukan teater dapat terus dinikmati oleh
masyarakatnya.
Dalam pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa pembentukan
teater modern di Sumatera Barat seiring dengan perubahan sosial yang terjadi.
Umar Kayam (1981) berpendapat bahwa, kesenian dapat berkembang dan berubah
sesuai dengan kondisi dari kebudayaan itu sendiri. Syafri Sairin (2002) lebih
lanjut mempertegas pendapat tersebut yang mengatakan bahwa, Kebudayaan selalu
mengalami suatu perubahan dari waktu ke waktu lambat atau cepat suatu perubahan
tergantung dari dinamika pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, berubah
adalah sifat utama dari kebudayaan. Kebudayaan selalu berubah menyesuaikan diri
dengan munculnya gagasan baru pada masyarakat pendukung kebudayaan itu .
Hal tersebut
juga sejalan dengan apa yang diungkapkan Alvin Boskof, bahwa perkembangan seni
pertunjukan pada umumnya disebabkan oleh adanya pengaruh dari budaya luar yang
oleh Alvin Boskoff (dalam Soedarsono, 2001) disebutnya
sebagai akibat pengaruh eksternal. Dengan mengetahui faktor pembentukan
tersebut di Sumatera Barat, maka akan di dapatkan gambaran yang berguna sebagai sebuah analisis.
Kehadiran teater modern di Sumatera
Barat, seperti yang sudah pernah
saya jelaskan sebelumnya, telah
dimulai perkembangannya di pusat kota Padang oleh Nazif Basir, hal ini sejalan
dengan pemikiran bahwa teater modern di Indonesia adalah produk orang-orang
kota, diciptakan oleh penduduk kota dan untuk penduduk kota pula. Hal ini memperlihatkan
bahwa bentuk kesenian teater modern telah berupaya mengenalkan dirinya di
tengah-tengah masyarakat Sumatera Barat.
Memasuki dekade 1990-an, di kota Padang tumbuhlah suatu
gerakan penciptaan teater yang berangkat dari kerja ekperimen terhadap elemen
pendukung sebuah pertunjukan, seperti pada tubuh aktor, naskah maupun artistik
sebagai pilihan ekpresi. Pada tahun 1989, Yusril menjadikan tubuh sebagai
sarana ekpresi pemanggungan teater modern di Sumatera Barat, dengan melakukan ekplorasi terhadap
tubuh para aktor, yang kemudian
terus berlanjut hingga tahun 2000-an
Memasuki tahun 2000-an,
penyajian teater seperti ini terus bermunculan. Pertunjukan yang dihasilkan
berupaya menemukan caranya tersendiri, dengan melakukan pengolahan-pengolahan
tubuh para aktor. Kelompok yang menyajikan pertunjukan tersebut;
Kolaboratorium Teater Muda, Ranah Teater Padang,
Komunitas Seni Hitam Putih, KSST Noktah, Teater Sakata, Teater Katarsis dan
LPPT Tambologi.
Melacak
kemandirian pergumulan tubuh tersebut.
Dalam pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa
perkembangan bentuk teater teater modern Sumatera Barat mengikuti proses perubahan yang terjadi di dalam
kehidupan masyarakatnya. Perkembangan
yang terjadi dalam kehidupan teater Sumatera Barat memunculkan gerakan baru,
suatu cara ekpresi yang mencoba mewakili semangat zaman.
Sejalan dengan itu Pietr Sztompka (2004) menyatakan, secara ontology dapat dikatakan bahwa bahwa
masyarakat tak berada dalam keadaan tetap terus-menerus. Semua realitas sosial
senantiasa berubah dengan derajat kecepatan, intensitas, irama dan tempo yang
berbeda. Bukan kebetulan jika orang berbicara mengenai kehidupan sosial. Karena
kehidupan adalah gerakan dan perubahan, maka bila berhenti berarti tak ada lagi
kehidupan melainkan merupakan suatu keadaan yang sama sekali berbeda-yang
disebut ketiadaan atau kematian.
Perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat tersebut
tentunya dapat mengarah ke suatu bentuk pencapaian yang mengalami kemajuan atau
dapat saja berupa suatu bentuk kemunduran. Namun proses perubahan yang terjadi di dalam suatu masyarakat dan
kebudayaannya cenderung membentuk kearah pola-pola kemajuan dan perkembangan
sebagai sebuah identitas masyarakatnya. Hal senada ini juga dijelaskan oleh
Mursal Esten ( 1993) yang menyatakan bahwa kebudayaan merupakan reaksi umum terhadap perubahan kondisi
kehidupan manusia, dalam suatu proses pembaharuan yang terus menerus terhadap
tradisi, yang memungkinkan kondisi kehidupan manusia menjadi lebih baik.
Dalam proses kebudayaan, manusia sebagai mahluk sosial
bereaksi terhadap berbagai bentuk stimulus yang ada di lingkungannya. Bentuk
stimulus tersebut melibatkan berbagai fungsi indera tubuhnya. Seluruh stimulus
terhadap individu tersebut juga melibatkan imajinasi dan intuisi yang ada di dalam
masing-masing individu.
Bagi seorang seniman,
imajinasi dan intuisi merupakan dua hal yang saling berkaitan di dalam proses
kreatifitas penciptaan karya-karyanya. Jakob Soemardjo ( 2000 ) mengungkapkan bahwa
kreatifitas bertolak dari yang sudah ada, dari kebudayaan, tradisi.
Kreatifitas bersifat dinamis, terbuka bebas, tidak biasa, penuh resiko (tidak
aman dan nyaman), serta transenden. Kreatifitas bersifat interpenetrasi seluruh
potensi mental manusia.
Perkembangan bentuk yang terjadi pada kelompok-kelompok
teater Sumatera Barat merupakan suatu usaha untuk dapat memberikan identitas
kekaryaan kelompok di dalam peta teater
Sumatera Barat dan Indonesia. Perkembangan ini dapat berkaitan pula dengan
semangat perubahan yang ingin menciptakan suatu kondisi teater baru Sumatera
Barat. Tjetjep Rohendi Rohidi berpendapat bahwa faktor-faktor penyebab
perubahan itu bisa datang dari luar (yang diterima), atau muncul dari dalam
pendukung kebudayaan itu sendiri ( 2002). Pola-pola perkembangan bentuk ini ditandai dengan hadirnya
daya kreatifitas dan kesadaran untuk memunculkan kembali kearifan lokal di
dalam pertunjukan teater dan menghadirkannya ke hadapan penonton. Dalam hal
ini, ada dua hal yang mendukung pembentukan tersebut yaitu faktor internal dan
eksternal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar