Berbagi tentang informasi mengenai segala aktifitas, pencapaian pemberdayaan, kredo artistik yang berhubungan dengan aktifitas dunia teater melakukan kerja pencatatan dari Padangpanjang, sebuah kota dengan Tiga Nagari di Sumatera Barat.Segala kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku teater hari ini.
Selasa, 16 Juli 2013
Contoh Lighting Plot
Di bawah ini, merupakan contoh Lighting Plot dari pertunjukan teater yang dikerjakan menggunakan kertas milimeter secara manual. Skala adalah 1: 50. Adapun untuk jenis lampu tidak menggunakan lighting template, namun berupa hasil buatan reka ulang yang mirip dengan aslinya. Untuk saat ini, membuat Lighting Plot tidak memerlukan kerumitan ketika membuat secara manual. Ada banyak program (software) untuk merancang dan membuat satu Lighting Plot suatu pertunjukan. Berikut segala keterangan di tiap instrument lampu yang digunakan. Mudah-mudahan contoh yang saya posting berikut dapat dijadikan sebagai perbandingan sebuah Lighting Plot.
Jumat, 05 Juli 2013
Pengenalan Tata Cahaya bagi Pemula
Memahami Tata Cahaya dalam Seni
Pertunjukan
Oleh : Din Saaduddin
Mengetahui dan memiliki perspektif
dalam memahami mengenai penataan cahaya untuk sebuah pertunjukan perlu
dilakukan. Hal ini dilakukan agar terdapat kerangka yang sama dalam memahami
dunia yang satu ini. Sering kita para pelaku seni terlibat pada berbagai
kegiatan seni yang membutuhkan bantuan tambahan pencahayaan sebagai kelengkapan
sebuah pertunjukan. Bahkan tidak jarang “kepenataan cahaya” begitu mendapat
tempat, sehingga memiliki nilai tambah tersendiri bagi mereka yang menekuninya.
Namun, elemen yang satu ini jarang diketahui sebagai sebuah disiplin ilmu, dan
seringkali disamakan dengan “tukang” dan bukan sebagai seorang desainer ataupun
sebagai perancang yang berdiri otonom di sebuah produksi (pertunjukan).
Menata lampu pertunjukan
merupakan sebuah profesi kerja yang baru dikenal, tapi keahlian ini sudah lama
ada di dalam pertunjukan-pertunjukan di zaman Yunani. Perlu diketahui, bahwa
pada zaman ini dalam pencahayaan tersebut menggunakan cahaya pertunjukan yang
paling terbaik di dunia ini-yakni cahaya matahari dengan cara menangkap cahaya
yang dikeluarkan oleh matahari pada waktu pagi hari ataupun pada sore hari.
Tapi tidak banyak cahaya yang dapat dikontrol untuk diarahkan menuju panggung.
Hal ini disebabkan pada zaman tersebut penggunaan cahaya hanya menggunakan
cermin perunggu.
Bila kita menarik masa yang
lebih jauh ke belakang, maka di zaman ketika manusia menetap di gua-gua sebagai
tempat tinggal, dan manusia mulai melakukan kegiatan pengisi waktu di malam
hari dengan berkumpul di depan sebuah perapian dengan menceritakan kisah-kisah
perburuan, hal ini merupakan langkah awal dalam memahami bagaimana pencahayaan
telah dimulai diterapkan dalam aktifitas keharian manusia-manusia gua tersebut.
Manusia-manusia gua dengan bercerita mengenai aktifitas perburuan kemudian menggunakan cahaya dari api
perkemahan mereka yang kemudian
difungsikan sebagai penarangan kepada sesoarang (narrator) yang bercerita
tersebut sebagai bagian dari penampilan mereka, hal inilah yang dapat dikatakan
sebagai proses imitasi dari kehidupan yang kemudian terus berkembang sesuai
dengan fungsi pada kehidupan manusia selanjutnya. Secara tehnik, pada kehidupan
manusia gua, si tukang cerita berusaha untuk berdiri menutupi sumber cahaya
dengan menempatkan posisi dirinya diantara para penonton, tehnik dan langkah
awal yang manusia gua lakukan tersebut, tentu jauh dari sebuah kerja ideal
pencahayaan hari ini yang begitu didukung dengan berbagai peralatan lampu yang
begitu modern, yakni adanya sebuah disain pencahayaan.
Istilah Tata Cahaya dapat juga
disebut dengan tata lampu panggung, namun untuk hal ini, pemahaman tersebut
mengandung pengertian yang sangat luas sekali. Dengan teknologi yang semakin
berkembang di dalam tata lampu panggung, maka setiap panggung, setiap
instrument yang ada memberikan corak dan warna yang berbeda di dalam penataan
dan memfungsikan berbagai instrument tersebut. Namun, secara prinsip Tata
Cahaya mengandung prinsip yang saya kira memiliki kesamaan. Yakni komposisi.
Menata cahaya ibarat melukis sebuah
kanvas lukisan. Yang perlu dilakukan
secara terus menerus hingga menghasilkan gaya tertentu berdasarkan latar
belakang pengetahuan si penata.
Seorang penata cahaya memiliki
kedudukan yang begitu penting di dalam tim artistik di sebuah pertunjukan. Ia
memiliki hubungan dengan unsure artistik lainnya seperti; penata set/scenery,
penata kostum/wardrobe dll. Seorang penata cahaya juga mutlak mendiskusikan konsep
dari disain pencahayaan dengan memperhatikan elemen kostum dan set (scenery)
yang dibuat.
Kepenataan cahaya adalah salah satu
point terpenting di dalam produksi kesenian (dalam hal ini produksi teater). Dengan
unsur pencahayaan, maka sebuah pertunjukan dapat dibuat suasana secara konstan/
datar atau bahkan dapat juga membuat perubahan pada keseluruhan pertunjukan, seperti
membuat stimulasi estetis tertentu pada bagian yang memiliki penekanan
dramatik, Pada aspek yang lebih esensial,
dengan pencahayaan, maka ini dapat merubah setiap momen-momen tertentu di dalam
pertunjukan. Dan ketika kita menangani kerja kepenataan cahaya ini dengan penuh
totalitas dengan seluruh kemampuan yang kita miliki sebagai seorang penata
cahaya, maka ketahuilah hal itu akan membuat pertunjukan memiliki daya tarik
kehidupan hidup yang penuh energy dan semangat. Perlu diketahui, di dalam
pencahayaan cahaya, bukan tergantung dengan banyaknya alat dan canggihnya
instrument serta jenis lampu yang kita miliki. Tetapi tergantung dengan
bagaimana kita melakukan penataan cahaya tersebut.
Penataan cahaya tersebut dapat
dilakukan hanya dengan satu lampu, dua lampu, atau bila perlu mungkin dengan
beberapa ratus spotlight, floodlight ataupun moving light yang ditempatkan di pipa batern tiang penyangga ataupun
panggung, tetapi bila penggunanya belum mengetahui prinsip dalam pencahayaan
(baik panggung maupun non panggung) maka segala peralatan yang banyak tersebut
akan mubazir saja. Untuk prinsip dalam pencahayaan tersebut akan diulas dalam
artikel selanjutnya. Salam kreatifitas.
Selasa, 02 Juli 2013
FAKTOR-FAKTOR KEMUNDURAN TEATER TUTUR TUPAI JENJANG SERTA UPAYA UNTUK MENGGAIRAHKAN KEHIDUPANNYA
Oleh Din Saaduddin
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat luas dengan banyak pulau
dan suku bangsa yang ada. Dua pertiga wilayah negara kita adalah lautan
dan sisanya adalah daratan. Sebagai sebuah negara yang memiliki
wilayah perairan yang luas, hal ini memungkinkan terjadinya akulturasi
dalam berbagai caranya terhadap perkembangan seni dari masing-masing
daerah hingga akhirnya membentuk jati diri bentuk kesenian yang ada di
negara kita. Potensi seni dan budaya bangsa kita, dengan jumlah etnis
yang sangat banyak dan memiliki ribuan bentuk seni dan budaya, kiranya
dapat menjadi posisi tawar kita di mata dunia. Adalah sebuah kebanggaan
tersendiri bagi kita dapat mengangkat kehidupan seni dan budaya kita
sehingga menghasilkan tambahan devisa negara seperti negara–negara di
Asia Pasifik yang sudah terlebih dahulu menjadikannya sebagai potensi
devisa. Negara-negara tersebut adalah Malaysia, Thailand, Singapura dan
Cina. Adapun kesenian yang tersebar di negara kita sendiri, sebenarnya
juga tidak kalah menarik dengan kesenian yang ada di beberapa negara
tersebut. Bentuk-bentuk kesenian yang ada di negara kita sangatlah
banyak sekali bentuk dan jenisnya. Ada yang berbentuk modern dan
tradisi. Bentuk-bentuk kesenian tersebut bila kita amati sangatlah
banyak karena juga berhubungan dengan kebutuhan ekspresi masyarakatnya.
Baik itu seni yang mengarah ke nilai-nilai konsumtif hingga kesenian
yang bersifat hedonistik. Kemudian kesenian tradisi, di negara ini juga
sangat banyak bahkan karena begitu banyaknya hingga hari ini pun tidak
juga selesai program dari pemerintah Dirjen pariwisata dan kebudayaan
dalam menghimpunnya menjadi sebuah direktori kebudayaan. .
Keragaman kesenian kita meliputi seluruh wilayah dari Aceh, Papua,
hingga daerah Talaud yang berbatasan dengan Filipina. Sebenarnya
keberagaman aset seni pertunjukan kita tersebut pun juga telah mulai di
data sebagai warisan nenek moyang etnis masing-masing. Walaupun tidak
dilakukan oleh pemerintah daerah, tapi kebanyakan dilakukan atau
didokumentasikan oleh lembaga-lembaga kebudayaan seperti yang telah
dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Seni Nusanatara (PSN) pimpinan Edo
Suanda. Dapat kita temukan di beberapa dokumentasinya, sangat kaya
ragam bentuk dan sifat kesenian tersebut walaupun yang masih
mendominasi adalah bentuk seni pertunjukan yang mengarah ke seni tari.
Namun juga terdapat bentuk teater yang lebih mengarah ke sifatnya yang
ritual yang penuh dengan bentuk upacara-upacara sakral.
Di antara berbagai bentuk pertunjukan yang akan dibicarakan, teater
tentunya juga perlu dilihat sebagai sebuah seni pertunjukan yang
merakyat. Merakyat di dalam artiannya adalah bahwa ia selalu melibatkan
masyarakat umum di dalam sejarah pertunjukan ini di Indonesia. Karena
tentunya sejarah pembentukan dan fungsi pertunjukan teater di Indonesia
berbeda dengan tradisi yang dihasilkan oleh negara Eropa dan Barat
sebagai tempat kebanyakan teater modern Indonesia berkiblat.
Kata teater berasal dari kata theatron, kata yunani yang memiliki arti seiing place,
tempat tontonan, sedangkan kata theatron digunakan untuk menggambarkan
bangku-bangku yang berputar setengah lingkaran dan mendaki ke arah
lereng bukit yang berfungsi sebagai tempat duduk penonton ketika drama
yunani klasik berlangsung. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya,
di Indonesia, pengertian teater tersebut sudah beradaptasi dengan
tradisi penciptaan teater Indonesia yang lebih merujuk kearah Barat,
dimana konsep penulisan terhadap naskah lakon menjadi lebih penting
dikedepankan, karena pertunjukan teater tersebut juga mempertimbangkan
unsur dramatik pertunjukannnya.
Di Indonesia, sebelum euforia dan pengaruh teater Barat yang memiliki
orientasi kepada naskah lakon melanda Indonesia dengan lakon Bebasari
kurun waktu tahun 1930-an dan diikuti kemudian oleh naskah lakon-naskah
lakon yang ditulis oleh para teaterawan Indonesia setelah Indonesia
merdeka, kita telah memiliki bentuk teater yang yang kaya akan nilai
dan falsafah kehidupan. Bentuk–bentuk teater tersebut mengakar dan hidup
serta berkembang di tengah masyarakat Indonesia yang berkebudayaan
agraris dan masyarakat Indonesia yang berkebudayaan pesisir,
berhubungan dengan kaitannya pertunjukan tersebut yang dipertunjukan
untuk penghormatan kepada penguasa alam semesta dan ucapan rasa syukur
karena diberkatinya hasil kerja mereka tersebut.
Banyak bentuk-bentuk teater tradisi ini akhirnya juga memiliki
nilai-nilai sosio-religiius. Yang merupakan suatu bentuk penyikapan
akan hubungan mereka dengan alam gaib yang menguasai dan menaungi
kehidupan bermasyarakat mereka sebagai masyarakat pedesaan. Teater
tradisi di nusantara sangat memiliki nilai-nilai yang lebih bermakna
dari bentuk kesenian Barat. Bila di Barat bentuk kesenian mereka secara
umum berguna untuk menghibur masyarakatnya yang sudah melewati
masyarakat pra industrial dan menjadikan seni media penggalian estetika
manusia terhadap seni itu, maka berbeda sekali dengan orientasi
teater di nusantara yang lebih berorientasi kepada nilai-nilai
kehidupan dan bukan sekedar menghibur saja namun lebih merupakan
sebagai bentuk pengakuan terhadap alam semesta ini . dan penamaan
terhadap teater nusantara ini memang sering diidentifikasikan sebagai
pertunjukan teater tradisi.
Secara bentuk, teater di dalam jagatnya dapat dibedakan, seperti
teater tradisional dan teater non tradisi. Teater tradisional merupakan
suatu bentuk teater yang lahir, tumbuh dan berkembang di suatu daerah
etnik, yang merupakan hasil kreatifitas kebersamaan dari suatu suku
bangsa di indonesia. Bentuk nya berakar dari kearifan budaya etnik
setempat yang erat dengan masyarakat pemiliknya dan telah dikenal oleh
masyarakat lingkungannya.
Teater yang berbentuk tradisional dari suatu daerah di Indonesia,
umumnya selalu berangkat dari gaya sastra lisannya yang banyak dimiliki
tiap etnis, sastra lisan tersebut dapat berupa pantun, syair ,
legenda, dongeng dan cerita rakyat setempat . Dan tradisi dalam konteks
teater ini sejalan dengan pernyataan Rendra dalam bukunya
Mempertimbangkan Tradisi, yakni :Tradisi ialah kebiasaan yang
turun-temurun dalam sebuah masyarakat. Ia merupakan kesadaran kolektif
sebuah masyarakat.Sifatnya luas sekali, meliputi segala kompleks
kehidupan, sehingga sukar disisih-sisihkan dengan pemerincian yang
tetap dan pasti.Terutama sulit sekali diperlakukan serupa itu karena
tradisi itu bukan obyek yang mati. Melainkan alat yang hidup untuk
melayani manusia yang hidup pula.Ia bisa disederhanakan , tetapi
kenyataannya tidak sederhana Dan berdasarkan Kamus Umum Bahasa
Indonesia (1976), tradisi ialah segala sesuatu (seperti:kepercayaan,
kesenian, kebiasaan, ajaran) yang dianut secara turun temurun dari
nenek moyang. Tradisi adalah kebiasaan turun –temurun kelompok
masyarakat berdasarkan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan.
Bentuk-bentuk teater tradisional di Indonesia sebenarnyapun juga sudah
sangat sedikit dapat kita jumpai hari ini, terutama sekali dengan
kurangnya bentuk kepedulian pemerintah dalam memberdayakan dan
melestarikan warisan kebudayaanya. Seperti di didalam dua tahun ini
saja kita telah kehilangan tiga maestro seni , satu dari tokoh maestro
teater Mendu Kepulauan Riau yang meninggal, maestro tari Pakarena dari
Makasar. Serta maestro zapin dari Bengkalis. Kehilangan seorang maestro
seni, berarti kita akan kehilangan juga seorang guru dan tempat
bertanya dalam kesejarahan seni tersebut.dan dalam fenomena ini pula,
kita seharusnya juga semakin menyadari, bahwa hanya tinggal hitungan
waktu saja, maka keberadaan teater-teater tradisi kita akan tinggal
kenangan saja dalam catatan bangsa ini.
Di Indonesia, banyak bentuk pertunjukan teater tradisinya yang jeli
mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai upaya
untuk mempertahankan keberadaannya di masyarakat. Dan tentunya
perubahan tersebut tidak dapat ditahan dan ditekan, karena perubahan
yang terjadi tentunya juga sebagai upaya menciptakan tradisi baru
kembali di dalam teater tradisi tersebut dan sebagai salah satu bentuk
kebudayaan, perubahan ini seharusnya tidak dilihat sebagai sebuah
kecemasan yang berlebihan. Kebudayaan pada manusia dapat mengalami
perubahan. Perubahan yang terjadi dapat melalui proses asimilasi,
akulturasi, penetrasi ataupun infiltrasi. Perubahan yang terjadi dari
waktu ke waktu bergantung dari dinamika masyarakat itu sendiri.
Kartodirjo(1986:5) mengemukakan bahwa sepanjang sejarah kehidupan seni
sebagai salah satu dari totalitas kehidupan manusia budaya selalu
terbawa oleh arus perubahan, karena sifat dari kebudayaan itu sendiri
yang tidak statis, melainkan hidup berkembang, juga sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sjafri Sairin bahwa kebudayaan bukanlah suatu yang
statis.
Di Indonesia, fenomena perubahan terjadi pada sendi–sendi kehidupan di
masyarakat.Hal ini di dukung dengan derasnya pilihan komunikasi yang
ditunjang oleh teknologi informasi. Masyarakat dapat mengetahui
berbagai informasi perkembangan dunia luar melalui televisi, radio,dan
internet yang dapat merubah sistem nilai budaya masyarakat Indonesia
terutama sekali bentuk teater tradisi kita. Sjafri Sairin berpendapat
bahwa kebudayaan selalu berubah mengiringi perubahan yang terjadi pada
kebutuhan hidup bermasyarakat, baik yang disebabkan oleh penetrasi
kebudayaan luar kedalam budaya sendiri atau karena terjadi orientasi
baru dari kalangan internal masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri
. Pendapat ini dapat dilihat pada teater tradisi di berbagai daerah di
nusantara yang sekarang ini memiliki kecenderungan telah mengalami
perubahan bentuk sebagai sebuah konsekwensinya terhadap pilihan
komunikasinya.
Beragam bentuk teater tutur yang tersebar disetiap daerah di Indonesia
antara lain: sinrilik di Sulawesi, Pm Toh dan Didong d Aceh, Kaba di
Sumatera Barat, Kentrung di jawa Timur dll. Di daerah Siulak
Kerinci,terdapat bentuk teater tutur rakyat yang hidup sebagai bagian
kehidupan masyarakat Siulak tersebut. Bentuk pertunjukan ini diperankan
oleh satu orang maupun pergantian tokohnya menggunakan tokoh lain yang
dibawakan secara bertutur. Adapun kisah yang diawakan bercerita
mengenai kehidupan tokoh Tupai Jenjang yang dijadikan objek
penceritaan, penuturan ini dibawakan si penutur dengan cara mengganti
berbagai peran yang dibawakan yang terdapat di dalam struktur ini dengan
menggunakan seluruh elemen panggung.pertunjukan ini biasanya mampu
membawa penonton berempati terhadap tokoh-tokoh yang dibawakan karena
dibawakan dengan gaya bertutur.
Sejarah kehadiran Teater Tutur Tupai Janjang di Siulak Kerinci
Literatur yang menjelaskan mengenai hal ihwal kehadiran teater ini
hingga hari ini belum juga dapat ditemukan, terutama sekali karena
jarangnya penelitan dan kajian mengenai bentuk teater ini. Mungkin saja
karena nilai tradisinya tersebut yang membuat generasi muda enggan
untuk mendekatinya, ataupun mempelajari kesenian ini, sehingga tiak
adanya data-data tertulis mengenai pertunjukan ini, namun yang
menariknya adalah kita masih dapat menjadikan data lisan dari pekerja
atau penutur teater tutur ini yang masih hidup di Siulak Kerinci. dari
beberapa wawancara berdasarkan informasi pada beberapa seniman di
Kerinci ini, kesenian ini awalnya belumlah menjadi sebuah pertunjukan
teater tutur, karena dahulunya pertama kali hanya dibawakan sebagai
sebuah cerita atau kaba saja, terutama sekali dibawakan oleh para
pekerja jembatan di daerah Siulak Kerinci yang berasal dari
Minangkabau. Seringnya cerita ini dibawakan setiap malam membuat
masyarakat yang kreatif didi daerah Siulak kerinci ini, menjadikan
cerita tupai jenjang menjadi sesuatu bentuk pertunjukan teater tutur,
hingga dikenal saat ini oleh masyarakatnya dengan istilah Tupai
Jenjang.
Dari fenomena ini sebenarnya kita dapat mengetahui bahwa pertunjukan
ini bukanlah merupakan kesenian tradisi masyarakat Siulak, namun telah
mengalami transformasi budaya menjadi sebuah pertunjukan milik
masyarakat yang baru dan karena memiliki nilai-nilai falsafah yang
berkaitan dengan kehidupan budaya masyarakat Siulak tersebut, maka ia
dapat diterima menjadi bagian dari masyarakat tersebut hingga
sekarang.
Bentuk Penyajian Teater Tutur Tupai Jenjang
Masyarakat daerah Siulak Kerinci, menyebut teater tutur ini sebagai
tupai jenjang saja, mereka tidak memberi identifikasi sebagai teater
tutur karena ketidaktahuan mereka akan pengetahuan seni teater. Namun
kadang kala juga ada yang menyebutnya sebagai keba atau kaba. namun
lebih seringkali sebut sebagai Tupai Jenjang oleh masyarakat setempat.
Cerita yang dimainkan pada teater tutur ini berbeda sekali dengan
cerita pada berbagai bentuk teater tradisi yang ada di Indonesia. Bila
pada setiap pertunjukan teater tradisi ceritanya yang dibawakan selalu
berubah dan memiliki banyak ragam, tidak halnya pada pertunjukan teater
tutur ini. cerita yang dibawakan selalu hanya satu kisah yakni Tupai
Jenjang saja..
ISI
Teater Tupai Jenjang di era Globalisasi
Kehadiran media televisi, radio dan internet dalam kehidupan di negara
kita karena imbas globalisasi memberi dampak yang tidak sedikit dalam
perubahan di masyarakat.Generasi hari ini yang dimanjakan oleh berbagai
teknologi yang sifatnya praktis, menghibur dan menjauhkan diri dari
realitas social semakin terjauhkan dari berbagai bentuk kesenian tradisi
yang ada. Terutama sekali di daerah Siulak Kerinci.
Dengan perkembangan kemajuan teknologi hari ini, masyarakat muda di
daerah kerinci telah memiliki suatu budaya baru. dimana budaya yang
baru terbentuk erat kaitannnya dengan perkembangan global dunia hari
ini. dimana perputaran ekonomi membuat menjamurnya beberapa warung
internet, sehingga budaya baru tersebut adalah “sarapan di warnet”.
Generasi muda hari ini lebih menyukai bermain di dunia maya, seperti
Playstation, band dan organ tunggal. Ini dapat dilihat dari setiap
helat yang diadakan maka banyak anak-anak sekarang baik itu sd, smp ,
sma dan anak kuliahan di tempat-tempat tersebut. Generasi hari ini
sebenarnya telah dihibur secara instant tanpa memerlukan pemahaman yang
lama, tidak memerlukan tempat yang khusus, tidak perlu pula dibatasi
oleh adat-adat yang menurut mereka usang.
Teater tutur tupai jenjang ini , bila pada tahun 70 an hingga tahun 80
an banyak ditampilkan pada setiap upacara adat, maka pada saat ini
sudah sangat jarang sekali dipentaskan.hanya sesekali saja dipentaskan
dan kebutuhannya hanya sekedar bagian dari promosi dinas pariwisata
saja pada beberapa event. Teater tutur ini telah berubah menjadi
kebutuhan penampilan event budaya daripada ditampilkan sebgai kebutuhan
suatu bagian dari upacara adat.
Namun bila kita ingin melihat kemunduraran yang dialami oleh kesenian
ini , kita juga harus mempertimbangkan faktor internal dan eskternal
yang berhubungan dengan teater tradisi ini.berdasarkan berapa uraian di
latarbelakang dan argumentasi diatas, dapat ditarik beberapa faktor
penyebab teater tradisi ini menjadi kurang akrab lagi di masyarakat
pendukungnya . antara lain sebagai berikut.
1. tidak beragamnya pilihan cerita
cerita merupakan elemen yang sangat penting didalam suatu pertunjukan
teater. Bila di dalam tradisi teater barat terdapat banyak lakon yang
dipentaskan dimana banyak problem sosial yang diangkat, berbeda sekali
denga tupai jenjang ini yang hanya memiliki satu kisah saja. Yaitu
hanya mengenai kisah Tupai Jenjang. Diasumsikan bahwa cerita yang
dimainkan membuat banyak audiens yang tidak merasa tertarik lagi karena
merasa apa yang disampaikan di dalam kisah tersebut tidak memiliki
konteks lagi dengan banyaknya persoalan sosial yang terjadi di
masyarakat dewasa ini. seakan memperlihatkan bahwa ketidakpekaaan
penutur dalam mencoba membuat inovasi cerita sebagai pilihan –pilihan
kepada penonton. Pertunjukan teater tutur ini, yang kiranya menggunakan
konsep akting dan dramaturgi teater Barat seharusnyalah peka
menawarkan bentuk cerita lain agar teater ini mendapatkan tempatnya
sebagai media ekspresi masyarakatnya dalam menyikapi berbagai
persoalan sosial.
2. Bentuk sajian yang konvensional
Bila kita melihat bentuk sajian yang ditampilkan, tidak terdapat adanya
perubahan yang ada di dalam sajian ini. Bila saja ada perhatian
bagaimana ingin mengembangkan kesenian ini,tentunya para penutur ini
juga dapat belajar untuk membuat suatu bentuk hal yang baru dalam
sajiannnya, di dalam sajiannya bila di dilihat dari aspek
musikal,kostum , gaya peran, dan properti yang digunakan sangat tidak
melihatkan adanya perubahan sebagai sebuah konsekwensi agar
keberadaannnya terus berlangsung di tengah masyarakat. Tidak adanya
upaya revitalisasi dan inovasi membuat kesenian ini menjadi semakin
terancam keberadaannnya , diperkirakan bila tiga orang penutur teater
tutur ini sudah mennggal, maka hilang juga lah keseniain ini selamanya,
karena tidak adanya regenarasi penutur karena masih terdapat asumsi dan
membentuk paradigma masyarakat menegnai profesi kesenian ini yang
tidak dapat menghidupi ekonomi pewarisnya bila mereka berprofesi
sebagai penutur.
3. Perbedaan generasi penutur
Perbedaan usia antara penutur dan generasi muda hari ini, kiranya
sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pertunjukan ini. bila dalam
pertunjukan teater-tutur di Aceh PM –TOH telah dikembangkan oleh Agoss
Noor Amal ) dan usianya pun masih muda, maka setidaknya semangat yang
mewakili adalah semangat kaum muda, sehingga semakin jeli melihat
keperluan perubahan dalam pertunjukan ini, sehingga jarak yang ada
antara penutur dan penonton tidak terlalu jauh sehingga sama –sama
mewakili semangat hari ini, sehingga kemungkinkan adanya konteks
terhadap masalah yang dipersoalkan dalam pertunjukan tersebut.
4. Perubahan paradigma masyarakat
Perubahan paradigma yang terjadi di dalam masyarakat, kiranya juga
sangat berperan. Masyarakat hari ini, telah dibuai oleh indahnya
kemudahan-kemudahan fasilitas yang sifatnya unuk pemuas kebutuhan
hidupnya.sangat banyak pilihan hari ini untuk menghibur dirinya yang
instan tersebut.dari banyak nya film VCD dan DVD, murahnya membeli
player pemutarnya, banyaknya hiburan di internet, dan berbagai budaya
pop lainnya mengakibatkan terjadi perbauhahan konsumsi hiburan tersebut
sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. Bila pada tahun 70 dan 80an semuanya
tersebut sulit diperoleh tidak halnya sat ini. dan akhirnya telah
terjadi perubahan orientasi hiburan tersebut. Lagi pula karena faktor
tidak menariknya sajian hari ini yang tidak dapat diandalkan dalam
pertunjukan tersebut, mengakibatkan kesenian teater tutur ini kalah
bersaing dengan berbagai media hiburan yang instan tersebut.
5. Gagalnya peran pemerintah daerah
Pemerintah daerah dapat disebut gagal dalam menciptakan iklim
berapresiasi masyarakatnya. Di dalam hal ini, hampir tidak ada
perhatian pemerintah daerah dalam upaya mengembangkan dan melestarikan
kesenian ini sebagai identitas kebudayaan lokalnya. Tidak ada program
event lokal yang secara konsistent melakukan pergelaran pertunjukan ini
dan melakukan penelitian dan pengembanganya. Hanya ada satu event
kesenian di Kerinci yakni Festifal Masyarakat Peduli Danau Kerinci
..Kesenian terutama bagi pemerintah daerah masih dianggap sebagai
investasi berdasarkan nilai untung rugi. ketika tulisan ini di tulis
pun belum ada juga program pelatihan yang diberikan oleh pemerintah
daerah guna mengangkat kehidupan teater tutur ini.
PEMBAHASAN
Upaya-upaya Penyelamatan Teater Tutur
Sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan sebagai strategi pembinaan
seni. Strategi yang diterapkan tersebut tentunya dapat berhasil
dilaksanakan dan memiliki input yang jelas bila dilakukan dan didukung
oleh berbagai pihak.Perlu kesatuan visi dan misi di dalam pengembangan
dan pelestarian berbagai kesenian tradisi.salah satunya adalah peranan
dari institusi-institusi milik pemerintah maupun non pemerintah.
Menjadikan sekolah sebagai pusat pembinaan..Perlu dipikirkan kembali
penataan pembelajaran seni di instusi pendidikan dari tingkat SD hingga
SMA di Kerinci.Dengan melakukan pembenahan dalam kurikulum pendidikan
dengan memasukkan unsur lokal dalam pengajaran tentu akan membuat para
siswa mengenali kembali potensi kesenian tradisinya di tengah arus
globalisasi hari ini.Dengan diterapkannya pengenalan dan pembelajaran
mengenai teater tutur Tupai Jenjang sebagai salah satu strategi
pembinaan seni di Institusi sekolah.
Peranan seniman dalam perubahan paradigma masyarakat, perlu suatu
kesepakatan dan diadakannya suatu konsorsium selutuh pelaku dan pembina
teater di Kerinci agar dapat merumuskan kembali pengembangan seperti
apakah yang akan digunakan,metode seperti apakah yang harus dilakukan
serta revitalisasi seperti apakah yang akan dilakukan secepatnya guna
mengembangkan identitas daerah tersebut. Dengan semakin seringnya
diadakan pertemuan-pertemuan dan seminar, maka akan terbentuk suatu
rancangan pengembangan bentuk teater ini yang dapat diberikan dan
dihadapkan ke pemerintah daerah sebagai sebuah rasa tanggung jawab
seniman-seniman tersebut.
Pemerintah Daerah dan Dinas Pariwisata Setempat, perlu secepatnya
dibentuk suatu badan penyelamatan aset seni dan budaya di daerah-daerah
sebagai bentuk kepedulian terhadap karya anak bangsa. Namun juga
tidaklah cukup dengan memberikan anjuran dan pesan-pesan berbau politis
namun perhatian PemKab dalam memanejemen event kesenian juga perlu
ditingkatkan juga. Perlu rasanya memberikan pos dana yang berlebih
untuk anggaran pelestarian dan pengembangan seni dan budaya Kerinci.
Dinas pariwisata, perlu membuat berbagai program-program
pelatihan-pelatihan, lokakarya, seminar dan pertunjukan yang simultan
terus menerus , selain akan membentuk paradigma baru masyarakatnya,
juga akan membuat munculnya kegairahan baru dalam menjadi apresiator
seni.selain itu akan menggugah sikap kedaerahan yang akan menciptakan
kepedulian seni dan budaya .
PENUTUP
Di tengah perubahan global hari ini, yang ditandai dengan berbagai
bentuk perubahan di bidang sosial, ekonomi, politik dan cara–cara
berkebudayaan masyarakat dunia, maka perlu kembali kita menjadikan
teater tutur sebagai pembentuk identitas diri bangsa kita. Di tengah
persaingan ekonomi yang semakin melaju ke arah kompetisi global, maka
kesenian tradisi dalam hal ini teater tutur perlu dilihat sebagai aset
daerah yang memiliki nilai ekonomis dan juga politis.
Banyak daerah-daerah di Indonesia hari ini, yang menjadikan kesenian
tradisinya terutama teater sebagai upaya untuk mengenalkan citra
daerahnya masing-masing baik untuk kebutuhan tingkat nasional maupun
internasional. Dan menyikapi fenomena tersebut, maka sudah saatnya
masyarakat Siulak Kerinci melirik potensi tersebut.
Teater Tutur Tupai Jenjang merupakan bentuk teater tradisi masyarakat
Siulak Kerinci yang hidup pada pertengahan abad 19. Kesenian ini
diasumsikan merupakan bentuk kesenian baru yang diciptakan masyarakat
Siulak sebagai bentuk ekspresi dalam memandang kebudayaannya. Namun
hari ini, pertunjukan Teater Tutur Tupai Jenjang memperlihatkan
indikasi kronis kepunahannya karena kurangnya minat masyarakat untuk
menghadirkan pertunjukan ini pada upacara-upcara adat mereka.Generasi
muda hari ini bahkan tidak melihatkan kepedulian mereka terhadap bentuk
teater tradisi ini. Namun hal tersebut juga tidak boleh dibebankan
kepada generasi mudanya saja. Perhatian pemerintah daerah dalam
penelitian dan pengembangan berbagai bentuk kesenian yang ada juga
perlu ditingkatkan kembali. Perlu kerjasama lintas disiplin agar
kesenian ini tidak punah ditengah arus gobalisasi yang telah membuat
berbagai bentuk perubahan di kehidupan masyarakat. Kerjasama tersebut
dapat dilakukan antara intitusi pemerintah dengan institusi non
pemerintah serta para praktisi kesenian.
DAFTAR PUSTAKA
Kasim , Ahmad.” Mengenal Teater Tradisional di Indonesia.”, DKJ, 2006
,Kasim Akhmad, “Bentuk dan Pertumbuhan Teater Kita”, dalamSuyatna Anirun, et al., ed., Teater Untuk Dilakoni; kumpulan TulisanTentang Teater ,Bandung: CV. Geger Sunten, 1993.
Kamus Filsafat, Lorens Bagus, Jakarta, Gramedia, 1996
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Depdiknas, Jakarta,Balai Pustaka, 2001
Radhar Panca Dahana, “ Homo Theatricus”, Magelang: IndonesiaTera,2000Rendra, “Mempertimbangkan Tradisi”, Jakarta, Gramedia, 1984
Sairin,Sjafri, “Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia”, Yogyakarta : Pustaka Ilmu , 2002
Sumardjo, Jakob. “Perkembangan Teater Modern Dan Sastra Drama Indonesia”. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992.
Yudiaryani, “Panggung Teater Dunia”, Yogyakarta :Gondosuli, 2002
Dialog Mentri pariwista dan Kebudayaan Jero Wacik tahun 2010 di stasiun TV metrotv.
Lihat di CD tarian-tarian nusantara PSN untuk pendidikan seni di sekolah-sekolah dan buku pelajaran kesenian nusantara”Tari Komunal” edisi ujicoba PSN 2006
www.arti kata.com
Glosarium
A
Asimilasi : merujuk pada defenisi 1). Penyesuaian/peleburan sifat asli dengan sifat lingkungan sekitar .2). Penyesuaian diri terhadap kebudayaan dan pola-pola perilaku.
Akulturasi : merujuk pada defenisi 1). Percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi.2). Proses masuknya pengaruh kebudayaan asing itu, dan sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsure kebudayaan asing itu dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu.
D
Dendang : Nyanyian ungkapan rasa senang , gembira, dsb (sambil bekerja atau diiringi bunyi-bunyian)
E
Euphoria : perasaan nyaman atau perasaan gembira yg berlebihan
H
Hedonistik : Yunani (Hedone/Kesenangan atau kenikmatan), dalam hal ini merujuk bahwa pencapaian kesenangan untuk indrawi saja.
Dialektika : berasal dari kata Yunani Dialektos , pengertian Dialektika merujuk pada arti 1). Suatu proses untuk mencapai suatu posisi atau kondisi mellalui tiga tahap: tesis, anti-tesis dan sintesis ,2). Seni memperoleh pengetahuan lebih baik tentang suatu topik dengan pertukaran pandangan-pandangan dan argumentasi yang rasional.
I
Infiltrasi : merujuk pada defenisi penyusupan
K
Kaba : Sastra tradisional yang berbentuk prosa berirama, kalimat sederhana dengan 3-5 kata sehingga dapat diucapkan secara berirama atau didendangkan, tema ceritanya bermacam-macam, seperti kepahlawanan, petualangan, pelipur lara dan kisah cinta
Keba ;merupakan tradisi bercerita yang disampaikan dengan cara berdendang dan diringi oleh alat musik yang terbuat dari belek(kaleng beras besar).
P
Penetrasi :penerobosan, penembusan, perembesan kebudayaan luar mempengaruhi daerah itu.
Profane : merujuk pada defenisi 1). Tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan dan lebih bersifta keduniawian.
R
Revitalisasi : Pembaruan, penyegaran, peremajaan, reaktualisasi, renovasi
Kritik Pertunjukan "Sang Pemetik" Koreografer Sherly Novalinda
Sang Pemetik
(sebuah catatan oleh Marfaizon Pangai)
Kayuaro, 12 Maret 2011. Dari kejauhan, sayup alunan musik klasik
merambat ke telinga. Vivaldi, kukira. Aku bersama rombongan tamu sedang
berjalan menuju lokasi pementasan. Pukul 10 lewat. Langit
terang-benderang. Panas makin terik. Peluh mulai netes. Menjelang
tikungan, kami disambut pemandangan sepasang 'bule' yang sedang
bercengkerama menghadap hamparan permadani teh. Hijau menyelubungi mata.
Melihat kami mendekat, mereka pun beranjak dan berjalan mendahului.
Sebentar kemudian, dari jarak sekitar 20 meter, kami melihat sesuatu
yang ganjil: empat pemusik, berpakaian hitam putih berdasi kupu-kupu ala
jaman bien, berdiri menghadang jalan, tengah memainkan biola dan entah
apa lagi. Aku tak yakin itu Vivaldi. Mungkin Mozart atau Brahms. Quartet
tadi mengiringi tuan-tuan Belanda yang tengah berpesta dan berdansa.
Ditemani noni-noni, barang tentu. Mereka bergerak berkisar berpasangan
dari satu meja ke meja lain, bercakap-cakap sambil minum teh. Adegan ini
di tengah jalan, tampak meriah tapi hikmat, diapit tebing dan jurangan
tanaman teh.
Kami disilakan duduk, berbaur dengan para tuan dan noni Belanda. Juga disuguhi teh. Musik masih mengalun, berayun-ayun. Tak semua undangan mendapatkan tempat duduk. Yang berdiri, menyatu dengan pemain. Bukit dan lembah teh saling kirim kembali bebunyian musik itu ke langit biru. Pilu dan memancing rindu. Sepuluh menit berlalu, kemudian kami pun mulai beranjak. Di tengah kerumunan, tampak Pak Sri Hastanto, seorang profesor tari dari ISI Solo, masih berbicara dengan promovendusnya, Sherly Novalinda.
***
Kisah Belanda di Kerinci dimulai awal tahun 1800-an. Dengan alasan memperluas jaringan perdagangan dengan masyarakat lokal, Inggris mengirimkan dua kali tim ekspedisinya ke Kerinci melalui pantai barat; tahun 1800 dipimpin oleh Charles Campbell, dan oleh Thomas Barnes pada 1818. Cerita tangan pertama dari Inggris ini merupakan informasi yang sangat bernilai bagi Belanda, terutama untuk rencana Sumatra Expeditie-nya tahun 1877-1879. Tujuan utama ekspedisi ilmiah ini adalah menyibak rahasia lembah Kerinci. Tapi akhirnya wilayah ini dicoret dari daftar tujuan karena Belanda khawatir orang Kerinci tidak bisa membedakan antara ekspedisi ilmiah dengan misi spionase pemerintah Belanda.
Namun, perhatikanlah Tuan-tuan. Belanda sungguh tak kuasa menepis godaan negeri yang memang mooi ini. Tahun 1901, kembali Belanda mengirimkan ekspedisi militer ke Kerinci dengan dalih bahwa wilayah ini telah membantu pemberontakan Sultan Taha menentang Belanda. Invasi pertama ini digagalkan oleh pejuang-pejuang dari Lolo yang dipimpin Depati Parbo. Barulah tahun 1903, setelah tiga kali penyerangan, Belanda berhasil menduduki Kerinci. Perlawanan masyarakat Kerinci masih berlanjut hingga tahun 1906.
Kita tahu, apapun alasan bagi masuknya bangsa asing ke negeri ini, niatnya tetaplah penguasaan ekonomi-politis. Belanda telah memperkenalkan penanaman dan perdagangan rempah secara luas di Kerinci. Kopi, Kayumanis, dan teh di antaranya. Tapi kita juga tahu, hanya tanaman teh yang masih meninggalkan monumen kokoh bagi tautan masa lalu Kerinci dengan bangsa Eropa. Dibuka tahun 1925-1928, perkebunan teh Kayuaro masih berdiri hingga saat ini di bawah manajemen PT Perkebunan Nusantara VI (Persero). Penanaman perdana dimulai 1929, dan pabriknya 1932.
***
Musik masih terdengar di belakang saat kami melihat sebuah konstruksi berbentuk kapal di kejauhan. Di kiri, setentang tebing, sekitar 10 M menjelang kapal, bersandar lima orang bocah laki-perempuan mengenakan topeng dan kemben. Mereka mematung. Begitu kami tiba, musik pun bertingkah dan mereka pun bergerak mulai menari. Dalam suasana ini, aku sempatkan menoleh ke belakang; karyawan pemetik teh yang kulihat di jurangan sebelah kanan tadi masih meneruskan pekerjaannya.
***
''Kegiatan kita sehari-hari, termasuk memetik teh, pada dirinya sendiri sudah merupakan tari,'' kata Sherly memulai penjelasan tentang konsepnya mengusung tari ke tengah hamparan perkebunan teh Kayuaro. ''Tinggal lagi bagaimana cara membangun suasana hubungan antara pemetik dengan kebun teh, dan menghidupkan makna dalam proses hubungan itu, dan saya mendapatkannya dalam sejarah panjang perkebunan ini. (Hal ini) sungguh menggugah semangat hidup.'' Kemudian Sherly mempertontonkan sebuah film dokumenter tari di suatu lokasi pertambangan, seakan meneguhkan argumentasinya bahwa tari yang akan dipentaskannya nanti merupakan sesuatu yang lazim dalam dunia akademis dan memang layak dipanggungkan di perkebunan teh. Saya hanya manggut-manggut, berusaha untuk menyandingi jalan pikiran mahasiswa S2 ini. Dia putri Kerinci, menyelesaikan S1 di Padang Panjang, dan kini sedang mengupayakan ujian magister tarinya di kebun teh Kayuaro.
***
Memahami seni apapun di masa kini memang membutuhkan energi dan daya tahan tersendiri. Demi pencarian akan kebaruan, seni seakan senantiasa menolak untuk masuk ke dalam kerangkeng definisi. Dalam tari, misalnya, tengoklah 'Selamat Datang dari Bawah'. Ini sebuah koreografi karya Fitri Setyaningsih, yang oleh TEMPO baru-baru ini dinobatkan sebagai 'Tokoh Seni 2010'. Instalasi tari ini--- demikian mereka menyebutnya--- dibangun atas tiga bahan dasar: kisah Franz Schubert, komponis Austria yang melatih tangannya dengan batu; wawasan Zen tentang pikiran yang terjebak dalam balok es; dan instalasi Bodyscape karya Titarubi. Lantas, bagaimana jadinya tari ini? Bahkan seorang H.D. Halim, pengamat seni pertunjukan kawakan, pun mempertanyakan keabsahan karya ini sebagai tari.
Barangkali inilah praktik seni gaya posmo: canggih dan manasuka; njelimet dan siapapun bebas menafsirkannya menjadi apapun. Selain karya Fitri di atas, kita ambil Glow sebagai contoh terkini. Glow diciptakan oleh Gideon Obarzanek dari kelompok tari Chunky Move asal Melbourne, Australia. Koreografi ini memadukan gerak tubuh dan teknologi pencahayaan. Pergumulan antara gerak-gerik tarian dan saling-silang cahaya yang disorotkan ke panggung menghasilkan kesan seolah penari bergelut dan bertukar tangkap-dan-lepas dengan bayangannya sendiri. Dan, Anda tahu, mereka masih menyebutnya seni tari.
***
Kami, tamu undangan, berjalan terus mendekati konstruksi berbentuk kapal tadi, sementara anak-anak berkemben dan bertopeng perlahan-lahan menari mundur menuju kapal. Di situ, di tengah kapal, sudah duduk menunggu seorang tua seusia 100-an tahun. Setibanya kami, musik berhenti dan para penari tadi diam mematung dalam posisi tari. Maka mulailah tetua tadi berkisah dalam bahasa Jawa: Belanda mulai membuka kebun teh di Kayuaro pada awal 1920-an. Tenaga kerja didatangkan dari Jawa karena penduduk setempat tidak suka bekerja di perkebunan. Mereka didatangkan dengan kapal berombongan; terikat dalam ruh persamaan nasib dan penanggungan. Begitu kuatnya ikatan itu, sampai-sampai mereka menganggap diri sebagai sebuah keluarga besar sedarah hingga saat ini. Pak tua tadi juga bercerita tentang perlakuan kasar mandor-mandor perkebunan dari bangsa sendiri, kerasnya disiplin kerja, dan berbagai permainan dan nyanyian yang meningkahi jam-jam kerja yang melelahkan. Bagaimana para pemetik bergunjing saat bekerja, tentang tetangga yang selingkuh dan suami-suami yang main serong. Atau tentang uang belanja yang tak pernah cukup.
Setelah sekitar sepuluh menit berlalu, kami pun dibawa berjalan lagi. Kali ini ke tempat pertunjukan yang sesungguhnya. Kursi-kursi untuk tamu diletakkan sejajar menghadap petakan teh, yang menghampar membukit seperti bentangan karpet hijau yg dijemur. Hampir pkl 12 siang. Tak ada penutup kepala pula. Meski sejuk dan dihembus angin, peluh tak mau berhenti. Tapi itu tak masalah, karena ini bukan tarian biasa (bagi kami).
Di atas bentangan karpet hijau tanaman teh tadi, tampak lima titik tudung kepala dari anyaman bambu yang disusun persegi, dengan jarak antartitik sekitar 3-5 M. Pecahan cermin yang ditempelkan di puncak tudung-tudung itu berkilauan ditimpa mentari siang, dan berpadu dengan aneka warna selendang yang membentang di atas tanaman teh dari setiap sudut tudung tadi. Sementara itu, dari arah kiri kami, tampak serombongan perempuan pemetik bergegas memasuki arena sambil berceloteh tentang entah apa. Diiringi musik yang membahana di siang jalang, mereka langsung menuju panggung, melakukan gesture memetik teh tanpa melepaskan obrolan tentang perkara kehidupan rumah tangga dan tetangga. Tak lama berselang, seiring meredanya bunyi musik, mereka bergerak mundur dan menepi berbaris, masih tetap mempercakapkan sesuatu. Perlahan, kembali diiringi musik yang saling sahut dari tebing di belakang kami dan di rendahan di depan, satu titik tudung yang disusun persegi tadi muncul bergerak menampilkan gerakan gemulai menyerupai tari, disusul bergantian oleh titik-titik tudung yang lain. Permadani teh yang membentang hijau berubah menjadi panggung pertunjukan tari.
***
Terus terang, aku tidak mau ikut-ikutan dalam perdebatan apakah ini masih tergolong tari atau bukan. Kami--- aku, tamu undangan, dan pemain pembantu yg direkrut dari warga desa terdekat--- mungkin saja tidak mampu mencerna dan memahami aneka idiom tari dan kosagerak yg terhidang dalam tarian ini. Tapi darinya kami telah merasakan sesuatu yang nostalgis dan magis, sesuatu yng muncul dari kedalaman purba kami; buhul kami dengan alam, dan kerinduan kami pada asal- muasal. Inilah juga agaknya yg dirasakan oleh masyarakat Sei Asam, tempat sebagian besar para pendukung pertunjukan ini berasal; bukti hidup bagi keturunan ‘koeli kontrak’ yang telah beranak-pinak hingga lima generasi. Aku menyaksikan luapan passion mereka dalam membantu segala sesuatunya untuk kelancaran perhelatan ini---tak kenal waktu tak pandang usia, semua dan segala berlomba-lomba turut serta. Tiba-tiba, sepotong sajak Octavio Paz menyeruak di kepalaku: ''Langkahku di sepanjang jalan ini menggema di jalan lain. Di situ aku mendengar langkah-langkahku menapak di sepanjang jalan ini. Jalan mana, hanya kabut yang nyata.''
Bagiku, tari atau bukan, 'Sang Pemetik' ---yang dibangun atas masa silam kolonial Belanda, alam sakti Kerinci, dan pemetik teh--- adalah sebuah permainan bernas. (Oh ya, dalam proyeknya ini, Sherly juga menampilkan aneka permainan tradisional yg pernah dilakoni anak-anak kebon tempo doeloe.) ''Dunia ide-ide dan opini,'' mengutip intelektual asal Iran Abdul Karim Soroush, ''merupakan suatu game, dan sifat game inilah---alih-alih hasilnya--- yang lebih berharga.'' Dan tubuh, yang juga bergerak-gerak dan hilir-mudik dalam 'Sang Pemetik', adalah negosiasi antara berbagai motif gerak dan beragam pemaknaan yang paling memungkinkan. Dan makna adalah saling kait antara pelbagai idiom dalam konteks ruang-waktu tertentu. Belanda-Alam-Pemetik Teh telah berpadu-kelindan dalam permainan tubuh 'Sang Pemetik' di Kayuaro. Tuan-tuan dan Puan-puan, perlu kutegaskan di sini, inti sesungguhnya dari semua ini adalah permainan dan bagaimana kita mengimbuhkan makna ke dalam permainan itu. Selebihnya hanyalah soal remeh-temeh penafsiran. Ayo, mari kita terus bermain!* (Marfaizon Pangai)
Kami disilakan duduk, berbaur dengan para tuan dan noni Belanda. Juga disuguhi teh. Musik masih mengalun, berayun-ayun. Tak semua undangan mendapatkan tempat duduk. Yang berdiri, menyatu dengan pemain. Bukit dan lembah teh saling kirim kembali bebunyian musik itu ke langit biru. Pilu dan memancing rindu. Sepuluh menit berlalu, kemudian kami pun mulai beranjak. Di tengah kerumunan, tampak Pak Sri Hastanto, seorang profesor tari dari ISI Solo, masih berbicara dengan promovendusnya, Sherly Novalinda.
***
Kisah Belanda di Kerinci dimulai awal tahun 1800-an. Dengan alasan memperluas jaringan perdagangan dengan masyarakat lokal, Inggris mengirimkan dua kali tim ekspedisinya ke Kerinci melalui pantai barat; tahun 1800 dipimpin oleh Charles Campbell, dan oleh Thomas Barnes pada 1818. Cerita tangan pertama dari Inggris ini merupakan informasi yang sangat bernilai bagi Belanda, terutama untuk rencana Sumatra Expeditie-nya tahun 1877-1879. Tujuan utama ekspedisi ilmiah ini adalah menyibak rahasia lembah Kerinci. Tapi akhirnya wilayah ini dicoret dari daftar tujuan karena Belanda khawatir orang Kerinci tidak bisa membedakan antara ekspedisi ilmiah dengan misi spionase pemerintah Belanda.
Namun, perhatikanlah Tuan-tuan. Belanda sungguh tak kuasa menepis godaan negeri yang memang mooi ini. Tahun 1901, kembali Belanda mengirimkan ekspedisi militer ke Kerinci dengan dalih bahwa wilayah ini telah membantu pemberontakan Sultan Taha menentang Belanda. Invasi pertama ini digagalkan oleh pejuang-pejuang dari Lolo yang dipimpin Depati Parbo. Barulah tahun 1903, setelah tiga kali penyerangan, Belanda berhasil menduduki Kerinci. Perlawanan masyarakat Kerinci masih berlanjut hingga tahun 1906.
Kita tahu, apapun alasan bagi masuknya bangsa asing ke negeri ini, niatnya tetaplah penguasaan ekonomi-politis. Belanda telah memperkenalkan penanaman dan perdagangan rempah secara luas di Kerinci. Kopi, Kayumanis, dan teh di antaranya. Tapi kita juga tahu, hanya tanaman teh yang masih meninggalkan monumen kokoh bagi tautan masa lalu Kerinci dengan bangsa Eropa. Dibuka tahun 1925-1928, perkebunan teh Kayuaro masih berdiri hingga saat ini di bawah manajemen PT Perkebunan Nusantara VI (Persero). Penanaman perdana dimulai 1929, dan pabriknya 1932.
***
Musik masih terdengar di belakang saat kami melihat sebuah konstruksi berbentuk kapal di kejauhan. Di kiri, setentang tebing, sekitar 10 M menjelang kapal, bersandar lima orang bocah laki-perempuan mengenakan topeng dan kemben. Mereka mematung. Begitu kami tiba, musik pun bertingkah dan mereka pun bergerak mulai menari. Dalam suasana ini, aku sempatkan menoleh ke belakang; karyawan pemetik teh yang kulihat di jurangan sebelah kanan tadi masih meneruskan pekerjaannya.
***
''Kegiatan kita sehari-hari, termasuk memetik teh, pada dirinya sendiri sudah merupakan tari,'' kata Sherly memulai penjelasan tentang konsepnya mengusung tari ke tengah hamparan perkebunan teh Kayuaro. ''Tinggal lagi bagaimana cara membangun suasana hubungan antara pemetik dengan kebun teh, dan menghidupkan makna dalam proses hubungan itu, dan saya mendapatkannya dalam sejarah panjang perkebunan ini. (Hal ini) sungguh menggugah semangat hidup.'' Kemudian Sherly mempertontonkan sebuah film dokumenter tari di suatu lokasi pertambangan, seakan meneguhkan argumentasinya bahwa tari yang akan dipentaskannya nanti merupakan sesuatu yang lazim dalam dunia akademis dan memang layak dipanggungkan di perkebunan teh. Saya hanya manggut-manggut, berusaha untuk menyandingi jalan pikiran mahasiswa S2 ini. Dia putri Kerinci, menyelesaikan S1 di Padang Panjang, dan kini sedang mengupayakan ujian magister tarinya di kebun teh Kayuaro.
***
Memahami seni apapun di masa kini memang membutuhkan energi dan daya tahan tersendiri. Demi pencarian akan kebaruan, seni seakan senantiasa menolak untuk masuk ke dalam kerangkeng definisi. Dalam tari, misalnya, tengoklah 'Selamat Datang dari Bawah'. Ini sebuah koreografi karya Fitri Setyaningsih, yang oleh TEMPO baru-baru ini dinobatkan sebagai 'Tokoh Seni 2010'. Instalasi tari ini--- demikian mereka menyebutnya--- dibangun atas tiga bahan dasar: kisah Franz Schubert, komponis Austria yang melatih tangannya dengan batu; wawasan Zen tentang pikiran yang terjebak dalam balok es; dan instalasi Bodyscape karya Titarubi. Lantas, bagaimana jadinya tari ini? Bahkan seorang H.D. Halim, pengamat seni pertunjukan kawakan, pun mempertanyakan keabsahan karya ini sebagai tari.
Barangkali inilah praktik seni gaya posmo: canggih dan manasuka; njelimet dan siapapun bebas menafsirkannya menjadi apapun. Selain karya Fitri di atas, kita ambil Glow sebagai contoh terkini. Glow diciptakan oleh Gideon Obarzanek dari kelompok tari Chunky Move asal Melbourne, Australia. Koreografi ini memadukan gerak tubuh dan teknologi pencahayaan. Pergumulan antara gerak-gerik tarian dan saling-silang cahaya yang disorotkan ke panggung menghasilkan kesan seolah penari bergelut dan bertukar tangkap-dan-lepas dengan bayangannya sendiri. Dan, Anda tahu, mereka masih menyebutnya seni tari.
***
Kami, tamu undangan, berjalan terus mendekati konstruksi berbentuk kapal tadi, sementara anak-anak berkemben dan bertopeng perlahan-lahan menari mundur menuju kapal. Di situ, di tengah kapal, sudah duduk menunggu seorang tua seusia 100-an tahun. Setibanya kami, musik berhenti dan para penari tadi diam mematung dalam posisi tari. Maka mulailah tetua tadi berkisah dalam bahasa Jawa: Belanda mulai membuka kebun teh di Kayuaro pada awal 1920-an. Tenaga kerja didatangkan dari Jawa karena penduduk setempat tidak suka bekerja di perkebunan. Mereka didatangkan dengan kapal berombongan; terikat dalam ruh persamaan nasib dan penanggungan. Begitu kuatnya ikatan itu, sampai-sampai mereka menganggap diri sebagai sebuah keluarga besar sedarah hingga saat ini. Pak tua tadi juga bercerita tentang perlakuan kasar mandor-mandor perkebunan dari bangsa sendiri, kerasnya disiplin kerja, dan berbagai permainan dan nyanyian yang meningkahi jam-jam kerja yang melelahkan. Bagaimana para pemetik bergunjing saat bekerja, tentang tetangga yang selingkuh dan suami-suami yang main serong. Atau tentang uang belanja yang tak pernah cukup.
Setelah sekitar sepuluh menit berlalu, kami pun dibawa berjalan lagi. Kali ini ke tempat pertunjukan yang sesungguhnya. Kursi-kursi untuk tamu diletakkan sejajar menghadap petakan teh, yang menghampar membukit seperti bentangan karpet hijau yg dijemur. Hampir pkl 12 siang. Tak ada penutup kepala pula. Meski sejuk dan dihembus angin, peluh tak mau berhenti. Tapi itu tak masalah, karena ini bukan tarian biasa (bagi kami).
Di atas bentangan karpet hijau tanaman teh tadi, tampak lima titik tudung kepala dari anyaman bambu yang disusun persegi, dengan jarak antartitik sekitar 3-5 M. Pecahan cermin yang ditempelkan di puncak tudung-tudung itu berkilauan ditimpa mentari siang, dan berpadu dengan aneka warna selendang yang membentang di atas tanaman teh dari setiap sudut tudung tadi. Sementara itu, dari arah kiri kami, tampak serombongan perempuan pemetik bergegas memasuki arena sambil berceloteh tentang entah apa. Diiringi musik yang membahana di siang jalang, mereka langsung menuju panggung, melakukan gesture memetik teh tanpa melepaskan obrolan tentang perkara kehidupan rumah tangga dan tetangga. Tak lama berselang, seiring meredanya bunyi musik, mereka bergerak mundur dan menepi berbaris, masih tetap mempercakapkan sesuatu. Perlahan, kembali diiringi musik yang saling sahut dari tebing di belakang kami dan di rendahan di depan, satu titik tudung yang disusun persegi tadi muncul bergerak menampilkan gerakan gemulai menyerupai tari, disusul bergantian oleh titik-titik tudung yang lain. Permadani teh yang membentang hijau berubah menjadi panggung pertunjukan tari.
***
Terus terang, aku tidak mau ikut-ikutan dalam perdebatan apakah ini masih tergolong tari atau bukan. Kami--- aku, tamu undangan, dan pemain pembantu yg direkrut dari warga desa terdekat--- mungkin saja tidak mampu mencerna dan memahami aneka idiom tari dan kosagerak yg terhidang dalam tarian ini. Tapi darinya kami telah merasakan sesuatu yang nostalgis dan magis, sesuatu yng muncul dari kedalaman purba kami; buhul kami dengan alam, dan kerinduan kami pada asal- muasal. Inilah juga agaknya yg dirasakan oleh masyarakat Sei Asam, tempat sebagian besar para pendukung pertunjukan ini berasal; bukti hidup bagi keturunan ‘koeli kontrak’ yang telah beranak-pinak hingga lima generasi. Aku menyaksikan luapan passion mereka dalam membantu segala sesuatunya untuk kelancaran perhelatan ini---tak kenal waktu tak pandang usia, semua dan segala berlomba-lomba turut serta. Tiba-tiba, sepotong sajak Octavio Paz menyeruak di kepalaku: ''Langkahku di sepanjang jalan ini menggema di jalan lain. Di situ aku mendengar langkah-langkahku menapak di sepanjang jalan ini. Jalan mana, hanya kabut yang nyata.''
Bagiku, tari atau bukan, 'Sang Pemetik' ---yang dibangun atas masa silam kolonial Belanda, alam sakti Kerinci, dan pemetik teh--- adalah sebuah permainan bernas. (Oh ya, dalam proyeknya ini, Sherly juga menampilkan aneka permainan tradisional yg pernah dilakoni anak-anak kebon tempo doeloe.) ''Dunia ide-ide dan opini,'' mengutip intelektual asal Iran Abdul Karim Soroush, ''merupakan suatu game, dan sifat game inilah---alih-alih hasilnya--- yang lebih berharga.'' Dan tubuh, yang juga bergerak-gerak dan hilir-mudik dalam 'Sang Pemetik', adalah negosiasi antara berbagai motif gerak dan beragam pemaknaan yang paling memungkinkan. Dan makna adalah saling kait antara pelbagai idiom dalam konteks ruang-waktu tertentu. Belanda-Alam-Pemetik Teh telah berpadu-kelindan dalam permainan tubuh 'Sang Pemetik' di Kayuaro. Tuan-tuan dan Puan-puan, perlu kutegaskan di sini, inti sesungguhnya dari semua ini adalah permainan dan bagaimana kita mengimbuhkan makna ke dalam permainan itu. Selebihnya hanyalah soal remeh-temeh penafsiran. Ayo, mari kita terus bermain!* (Marfaizon Pangai)
Kumpulan Sajak Lama
Musim Senja
kisah prita, semangka dan buah kakao
senjakala peradilan,
hak angket, hak angkot, hak angkat, hak angkut
senjakala peradilan,
lumpur sidoarjo dan ketamakan manusia
senjakala peradilan,
mafia peradilan,
masih gentayangan
30 Maret 2011
Sajak Kita
pada halaman pesbuk,
mengganti status terbayang usang
berpuisi ria ,
pada rangkaian kata,
soal politik, apa budaya serta gosip murahan
setiap manusia bebas berkata-kata
berpuisi ria sekedar mengganti kata,
"status baru:melajang dan sudah menikah"
30 Maret 2011
Sajak Si Pembual
uh..
memaksa kita menggiring hitungan waktu itu..
membuncah pada tatanan kata yang ditangkup, tapi masihkah kita melihatnya?
pada gempitanya cahaya di ufuk barat..
peraduan itu...hilang namun mereka ada yang menantinya dua musim ini..
tapi kenal;kah ?
setiap iringan langkah itu.
yang hilang pada kata-kata sarkasnya..
entahlah...
pada musim ini...
aku mengeja kata seperti penyair saja..
tapi tak kumengerti keseluruhannya..
memaksa kita menggiring hitungan waktu itu..
membuncah pada tatanan kata yang ditangkup, tapi masihkah kita melihatnya?
pada gempitanya cahaya di ufuk barat..
peraduan itu...hilang namun mereka ada yang menantinya dua musim ini..
tapi kenal;kah ?
setiap iringan langkah itu.
yang hilang pada kata-kata sarkasnya..
entahlah...
pada musim ini...
aku mengeja kata seperti penyair saja..
tapi tak kumengerti keseluruhannya..
31 Juli 2010
Menikmati Pagi
yang mengitari waktu dipenggalan hari
membiaskna ritual di penghujung larik itu..
hanya mengandaikan saja..manakala aku terjaga dengan bisikan itu..
oiiiiii....apo kayo...ada aaruhan ganal..
mun handak ku padahkan....
tua muda bercanda...pada lipatan dedaunan dan getah yang terbuang..
mari...
tak lama lagi mereka berdiri dalam ritualnya...
bocah saramba...titian dalam asa...
surakarta 11 Juni 2010
Identitas Teater Indonesia Hari ini di dalam Pementasan " Tusuk Konde " sutradara Garin Nugroho
Oleh Din Saaduddin
Catatan Pertunjukan Tusuk Konde 24-25 Oktober 2010
di Gedung Teater Besar STSI Surakarta
Maka
lahirlah Rama, Shinta dan Rahwana dari sebuah kukusan bambu tersebut.
Ketiganya mewakili identitas masing-masing dalam konteks kekinian penuh
dengan interpretasi. Identitas Rahwana yang menguasai hajat hidup
manusia yang dipenuhi oleh nafsu dan keinginan, identitas Rama dengan
pencapaian nilai-nilai yang menerapkan keharmonisan manusia dan Sang
Pencipta serta Shinta yang mewakili kesucian dalam konsep kehidupan
perempuan .Sebagai bagian besar dari Epos Mahabharata, tema yang diusung
tentunya tidak asing bagi para penonton terutama yang memiliki
pengetahuan akan kebudayaan masyarakat Jawa ini.Namun bagaimanakah
ketika konsep kehidupan yang mewakili ketiga tokoh tersebut memiliki
tafsir baru sebagai sebuah seni pertunjukan? tentunya sangat dibutuhkan
energi yang lebih bagi penonton karena kita harus melihatnya dalam
perspektif yang berbeda agar dapat menerima tafsir baru dari sang
sutradara.
Peristiwa tersebut merupakan bagian dari pertunjukan Tusuk Konde yang merupakan tetralogi dari Opera Jawa karya dan sutradara Garin Nugroho. Dipentaskan tanggal 24-25 Oktober 2010 di Gedung teater besar STSI Surakarta sebagai bagian dari pementasan keliling yang telah dilakukan sebelumnya di Amsterdam, Belgia, Paris, dan London.
Menggabungkan pertunjukan dengan beberapa ahli di bidangnya masing-masing seperti Komposer oleh Rahayu Supanggah, Koreographi gerak oleh Eko Supriyanto, Penata lampu oleh Iskandar Loedin dan Seniman Instalasi Heri dono maka lahirlah karya yang juga memiliki kualitas akan kedalaman interpretasi yang layak kita apresiasi. Kedalaman penjelajahan yang luas akan tema dasar yang digunakan di dalam pertunjukan ini dan konsep baru dalam pemanggungan di dalam garapan ini setidaknya dapat membuat kita mengerti bahwa seni pertunjukan, dalam hal ini sebagai sebuah pertunjukan teater dapat saja ia tidak harus selalu berdiri sendiri. Ia dapat menyatu dengan tari, seni rupa, teknologi dan lainnya, sebagai kerja yang menggabungkan bentuk-bentuk eskpresi pertunjukan dengan elemen wayang, teater modern hingga upacara-upacara , maka hal tersebut telah tampak sebagai kekuatan pertunjukan ini.
Dari pertunjukan ini, walau judul di booklet adalah teater musikal, namun kekuatan musik, gerak dan visual unsur rupa di panggung juga sangat berimbang sehingga penamaan istilah yang kiranya mengganggu rasanya tidaklah menjadi persoalan yang mendasar walau kita juga harus mempertanyakan dan mencari jawabannya sendiri. Gerak-gerak yang dihasilkan sepanjang pertunjukan ini sebenarnya tidaklah terlalu lepas dari konvensi atau pakem-pakem tari itu sendiri , sebagai sebuah akar dari eksplorasinya tentunya kelihatan sangat men-jawa sekali dimana Garin sudah membatasi pertunjukan ini bahwa inilah Jawa Multikultur yang bertemu Sunda, Minang, Nias dan seni rupa modern. Dengan interpretasi Heri Dono akan penggunaan visual rupa di dalam pertunjukan dengan menggunakan manekin dan bentuk baru terhadap wayang, maka terlihat sekali bahwa memang Garin menyukai komunikasi yang tidak saja verbal dengan kalimat-kalimat dari para aktor dan aktris namun komunikasi non verbal tersebut juga merupakan kekuatannya dan hal ini dapat kita lihat juga dari latar belakangnya yang merupakan seorang sutradara film dengan pilihan-pilihan judul- di dalam karyanya seperti pasir berbisik, surat untuk bidaradari, out the three, generasi biru, dll nya.
Walaupun pada bagian-bagian awal audiens diarahkan untuk mencermati suasana yang ingin dibangun oleh sutradara tentunya dengan tarikan emosi penonton dengan beberapa simbolisasi yang tercipta lewat material dramaturgi yang penuh akan interpretasi, seperti kukusan besar dan kukusan kecil yang terbuat dari bambu namun ketika memasuki bagian kedua , ketiga dan keempat dari pertunjukan ini, semuanya menjadi cair dan segar tentunya tanpa menanggalkan kaidah pertunjukan tersebut, dari penciptaan simbolisasi diatas panggung, kemudian diubah dengan perlahan suasana yang komikal lepas dari karakter tokoh tersebut, dan bila melihat konsep teater modern hal inilah dicoba oleh Garin dipakai dalam pertunjukan, Alinasi atau V-Effek yang digagas oleh Bertolt Brech seorang sutradara teater dari Jerman era perang Dunia ke II. Alinasi dianggap dapat membuat penonton sadar bahwa yang ditonton adalah sebuah tontonan semata dan penonton tidak harus mengeluarkan empati dan simpati yang berlebihan kepada pertunjukan tersebut, dan seorang aktor juga kembali disadarkan bahwa ia tetaplah sebagai seorang pelaku di atas panggung, tentu saja konsep teater ini juga tidak mengenyampingkan bahwa esensi pertunjukan juga merupakan baut perubahan kebudayaan bagi masyarakatnya untuk menjadi kritis memaknai kehidupan sekitarnya tersebut.
Dengan interpretasi Heri Dono juga lah kiranya kita harus melihat bahwa pertunjukan ini memiliki kekuatannya, beberapa manekin yang digunakan ketika matinya Rahwana dan bentuk baru wayang sangat banyak di pertunjukan ini, maka konsep penyutradaraan yang diusung Garin perlu kita cermati sebagai kemajuan teater di Indonesia.
Sangat banyak sekali kecendrungan-kecenderungan kita para seniman selalu berkutat dengan dunianya saja tanpa mau mencoba melakukan interaksi di dalam garapannya untuk menemukan suatu kebaruan-kebaruan pertunjukan. Stagnasi kiranya hal itulah yang dapat disandangkan bagi para pelaku teater Indonesia, di besarkan dengan tradisi teater Barat namun enggan untuk melihat kekayaan lokalitas etnik yang beragam sebagai sumber berkarya. Tradisi teater dengan penggunaan Naskah luar pun seakan menumpulkan kearifan lokal kita yang telah hidup dan bertahan puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, dan dengan garapan Tusuk Konde ini kiranya para pelaku teater ke depannya juga dapat melihat sisi potensial lokalitas etnik kita yang beragam sebagai kekuatan dalam kekaryaan tersebut.
Memang bila kita mencermati fenomena beberapa issu pertunjukan hari ini, sangat banyak yang ditawarkan kepada kita, Multikulturalisme, ruang publik hingga street performance yang gencar menyusupi ranah kebudayaan kita, namun semuanya tersebut tentunya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bentukan teater hari ini. Dan tidak ada kata yang kita lewati selain saling pengaruh-pengaruhi atau saling keterpengaruhi tentunya bukan hal yang asing lagi.
Cermati saja, ketika beberapa sutradara dunia seperti Eugenio Barba dengan teater Antropologi, Peter Brook dengan teater Multikulture, Augusto Boal dengan teater pendidikan, Robert Wilson dengan teater visual, Stanilavski dengan teater realisme,Vsevolod dengan teater Bio Mekanik, Bertolt Brecht dengan Teater Rakyat telah berhasil mempengaruhi periodesasi kekaryaan teater Kita pada abad 19 jauh sebelum konsep tersebut muncul tentunya mereka dalam tahap pencarian bentuk memiliki tentangan dan pro kontra seperti yang kita ketahui dalam literature teater barat, sehingga akhirnya menemukan style kekaryaan tersebut dan dapat diterima oleh masyarakat.Dan hari ini pun, sangat banyak ragam pertunjukan teater yang telah mencoba-coba metode penyutradaraannya yang lepas dari bentuk yang lama sebagai wujud ekspresi dan penggalian mereka sendiri, namun keseluruhannya tersbut tentunya juga masih mencari jalannya masing-masing, dengan menerapkan berbagai ekspreimentasi pada pertunjukan teaternya tersebut.
Ketika kita mendengar betapa fenomenalnya pementasan I Lagaligo dan King Lear, kita tersadarkan kembali akan kekayaan seni dan budaya yang dimiliki bangsa ini. Dan bukan semerta-merta mengatakan banyak mereka tyang meniru konsep penyutrrdaaan tersebut, namun saling keterpengaruhan akan suatu karya membuktikan bahwa mainstream pertunjukan tersebut layak untuk diterapkan agar kita tidak melupaka kebudayaannya sendiri. Dan menikmati pertunjukan Tusuk Konde Ini, setelah matinya Rahwana dan Sinta di tangan Rama bukanlah dimaknai sebagai kematian harafiah, terutama bagi seni pertunjukan memberikan makna tersirat bahwa setelah ini, maka siapapun boleh hidup kembali dengan berbagai modifikasi bentuk seni pertunjukannya. Inilah tafsir saya, salah satu tafsir dari hampir tiga ratus penonton yang menikmati pertunjukan di malam itu.Selamat menikmati tafsir anda..
Peristiwa tersebut merupakan bagian dari pertunjukan Tusuk Konde yang merupakan tetralogi dari Opera Jawa karya dan sutradara Garin Nugroho. Dipentaskan tanggal 24-25 Oktober 2010 di Gedung teater besar STSI Surakarta sebagai bagian dari pementasan keliling yang telah dilakukan sebelumnya di Amsterdam, Belgia, Paris, dan London.
Menggabungkan pertunjukan dengan beberapa ahli di bidangnya masing-masing seperti Komposer oleh Rahayu Supanggah, Koreographi gerak oleh Eko Supriyanto, Penata lampu oleh Iskandar Loedin dan Seniman Instalasi Heri dono maka lahirlah karya yang juga memiliki kualitas akan kedalaman interpretasi yang layak kita apresiasi. Kedalaman penjelajahan yang luas akan tema dasar yang digunakan di dalam pertunjukan ini dan konsep baru dalam pemanggungan di dalam garapan ini setidaknya dapat membuat kita mengerti bahwa seni pertunjukan, dalam hal ini sebagai sebuah pertunjukan teater dapat saja ia tidak harus selalu berdiri sendiri. Ia dapat menyatu dengan tari, seni rupa, teknologi dan lainnya, sebagai kerja yang menggabungkan bentuk-bentuk eskpresi pertunjukan dengan elemen wayang, teater modern hingga upacara-upacara , maka hal tersebut telah tampak sebagai kekuatan pertunjukan ini.
Dari pertunjukan ini, walau judul di booklet adalah teater musikal, namun kekuatan musik, gerak dan visual unsur rupa di panggung juga sangat berimbang sehingga penamaan istilah yang kiranya mengganggu rasanya tidaklah menjadi persoalan yang mendasar walau kita juga harus mempertanyakan dan mencari jawabannya sendiri. Gerak-gerak yang dihasilkan sepanjang pertunjukan ini sebenarnya tidaklah terlalu lepas dari konvensi atau pakem-pakem tari itu sendiri , sebagai sebuah akar dari eksplorasinya tentunya kelihatan sangat men-jawa sekali dimana Garin sudah membatasi pertunjukan ini bahwa inilah Jawa Multikultur yang bertemu Sunda, Minang, Nias dan seni rupa modern. Dengan interpretasi Heri Dono akan penggunaan visual rupa di dalam pertunjukan dengan menggunakan manekin dan bentuk baru terhadap wayang, maka terlihat sekali bahwa memang Garin menyukai komunikasi yang tidak saja verbal dengan kalimat-kalimat dari para aktor dan aktris namun komunikasi non verbal tersebut juga merupakan kekuatannya dan hal ini dapat kita lihat juga dari latar belakangnya yang merupakan seorang sutradara film dengan pilihan-pilihan judul- di dalam karyanya seperti pasir berbisik, surat untuk bidaradari, out the three, generasi biru, dll nya.
Walaupun pada bagian-bagian awal audiens diarahkan untuk mencermati suasana yang ingin dibangun oleh sutradara tentunya dengan tarikan emosi penonton dengan beberapa simbolisasi yang tercipta lewat material dramaturgi yang penuh akan interpretasi, seperti kukusan besar dan kukusan kecil yang terbuat dari bambu namun ketika memasuki bagian kedua , ketiga dan keempat dari pertunjukan ini, semuanya menjadi cair dan segar tentunya tanpa menanggalkan kaidah pertunjukan tersebut, dari penciptaan simbolisasi diatas panggung, kemudian diubah dengan perlahan suasana yang komikal lepas dari karakter tokoh tersebut, dan bila melihat konsep teater modern hal inilah dicoba oleh Garin dipakai dalam pertunjukan, Alinasi atau V-Effek yang digagas oleh Bertolt Brech seorang sutradara teater dari Jerman era perang Dunia ke II. Alinasi dianggap dapat membuat penonton sadar bahwa yang ditonton adalah sebuah tontonan semata dan penonton tidak harus mengeluarkan empati dan simpati yang berlebihan kepada pertunjukan tersebut, dan seorang aktor juga kembali disadarkan bahwa ia tetaplah sebagai seorang pelaku di atas panggung, tentu saja konsep teater ini juga tidak mengenyampingkan bahwa esensi pertunjukan juga merupakan baut perubahan kebudayaan bagi masyarakatnya untuk menjadi kritis memaknai kehidupan sekitarnya tersebut.
Dengan interpretasi Heri Dono juga lah kiranya kita harus melihat bahwa pertunjukan ini memiliki kekuatannya, beberapa manekin yang digunakan ketika matinya Rahwana dan bentuk baru wayang sangat banyak di pertunjukan ini, maka konsep penyutradaraan yang diusung Garin perlu kita cermati sebagai kemajuan teater di Indonesia.
Sangat banyak sekali kecendrungan-kecenderungan kita para seniman selalu berkutat dengan dunianya saja tanpa mau mencoba melakukan interaksi di dalam garapannya untuk menemukan suatu kebaruan-kebaruan pertunjukan. Stagnasi kiranya hal itulah yang dapat disandangkan bagi para pelaku teater Indonesia, di besarkan dengan tradisi teater Barat namun enggan untuk melihat kekayaan lokalitas etnik yang beragam sebagai sumber berkarya. Tradisi teater dengan penggunaan Naskah luar pun seakan menumpulkan kearifan lokal kita yang telah hidup dan bertahan puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, dan dengan garapan Tusuk Konde ini kiranya para pelaku teater ke depannya juga dapat melihat sisi potensial lokalitas etnik kita yang beragam sebagai kekuatan dalam kekaryaan tersebut.
Memang bila kita mencermati fenomena beberapa issu pertunjukan hari ini, sangat banyak yang ditawarkan kepada kita, Multikulturalisme, ruang publik hingga street performance yang gencar menyusupi ranah kebudayaan kita, namun semuanya tersebut tentunya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bentukan teater hari ini. Dan tidak ada kata yang kita lewati selain saling pengaruh-pengaruhi atau saling keterpengaruhi tentunya bukan hal yang asing lagi.
Cermati saja, ketika beberapa sutradara dunia seperti Eugenio Barba dengan teater Antropologi, Peter Brook dengan teater Multikulture, Augusto Boal dengan teater pendidikan, Robert Wilson dengan teater visual, Stanilavski dengan teater realisme,Vsevolod dengan teater Bio Mekanik, Bertolt Brecht dengan Teater Rakyat telah berhasil mempengaruhi periodesasi kekaryaan teater Kita pada abad 19 jauh sebelum konsep tersebut muncul tentunya mereka dalam tahap pencarian bentuk memiliki tentangan dan pro kontra seperti yang kita ketahui dalam literature teater barat, sehingga akhirnya menemukan style kekaryaan tersebut dan dapat diterima oleh masyarakat.Dan hari ini pun, sangat banyak ragam pertunjukan teater yang telah mencoba-coba metode penyutradaraannya yang lepas dari bentuk yang lama sebagai wujud ekspresi dan penggalian mereka sendiri, namun keseluruhannya tersbut tentunya juga masih mencari jalannya masing-masing, dengan menerapkan berbagai ekspreimentasi pada pertunjukan teaternya tersebut.
Ketika kita mendengar betapa fenomenalnya pementasan I Lagaligo dan King Lear, kita tersadarkan kembali akan kekayaan seni dan budaya yang dimiliki bangsa ini. Dan bukan semerta-merta mengatakan banyak mereka tyang meniru konsep penyutrrdaaan tersebut, namun saling keterpengaruhan akan suatu karya membuktikan bahwa mainstream pertunjukan tersebut layak untuk diterapkan agar kita tidak melupaka kebudayaannya sendiri. Dan menikmati pertunjukan Tusuk Konde Ini, setelah matinya Rahwana dan Sinta di tangan Rama bukanlah dimaknai sebagai kematian harafiah, terutama bagi seni pertunjukan memberikan makna tersirat bahwa setelah ini, maka siapapun boleh hidup kembali dengan berbagai modifikasi bentuk seni pertunjukannya. Inilah tafsir saya, salah satu tafsir dari hampir tiga ratus penonton yang menikmati pertunjukan di malam itu.Selamat menikmati tafsir anda..
Pertunjukan Teater "Ritus Batu Belah"
Pertunjukan ini ditampilkan di gedung Hoerijah Adam ISI Padang Panjang
tahun 2009. merupakan karya teater berbentuk ekperimental. Pertunjukan
ini berangkat dari folklore Batu Belah Batu Betangkup yang merupakan
folklore dari Provinsi Riau yang mengisahkan tentang seorang ibu yang memilih untuk melakukan penyucian diri terhadap "dosa" psikologis dengan membenamkan diri ke dalam himpitan batu besar.
Pada garapan ini, isu gejala bunuh diri dalam sebuah nuclear family yang menggejala pada tahun 2008-2009 disikapi dengan mengkontekskan gejala psikologis tersebut pada pertunjukan Ritus Batu Belah. Pertunjukan ini dibiayai oleh Puslit P2M ISI Padangpanjang tahun 2009.
Ritus Batu Belah
Sutradara Saaduddin
Koreografer Sherly Novalinda
Penata Artistik : Saaduddin
Penata Musik : Sulaiman
Aktor Indah, Anggi, Dedi Ajo, Mira Pepilaya, Anggi Anggom, Deri Sukaik
Teater Monolog "Black Jack" 2007
Pertunjukan Teater Monolog "Black Jack" aktor Saaduddin.
Pertunjukan ini ditampilkan pada kegiatan Festival Monolog Se-Sumatera di Pekanbaru tahun 2007.
Menggunakan berbagai komponen unsur visual, maka pertunjukan ini terlihat lebih menekankan pada penggalian visual. Secara tidak langsung, latihan yang menggunakan waktu hampir dua bulan dengan periode latihan 4 x dalam 1 minggu memperlihatkan pencapaian yang cuklup maksimal.Garapan ini didukung atas kerjasama bersama Sherly Novalinda, Sukri, Enrico Alamo, Edison, Bonano Pisano dan Tulang.
Langganan:
Postingan (Atom)