Oleh Din Saaduddin
Catatan Pertunjukan Tusuk Konde 24-25 Oktober 2010
di Gedung Teater Besar STSI Surakarta
Maka
lahirlah Rama, Shinta dan Rahwana dari sebuah kukusan bambu tersebut.
Ketiganya mewakili identitas masing-masing dalam konteks kekinian penuh
dengan interpretasi. Identitas Rahwana yang menguasai hajat hidup
manusia yang dipenuhi oleh nafsu dan keinginan, identitas Rama dengan
pencapaian nilai-nilai yang menerapkan keharmonisan manusia dan Sang
Pencipta serta Shinta yang mewakili kesucian dalam konsep kehidupan
perempuan .Sebagai bagian besar dari Epos Mahabharata, tema yang diusung
tentunya tidak asing bagi para penonton terutama yang memiliki
pengetahuan akan kebudayaan masyarakat Jawa ini.Namun bagaimanakah
ketika konsep kehidupan yang mewakili ketiga tokoh tersebut memiliki
tafsir baru sebagai sebuah seni pertunjukan? tentunya sangat dibutuhkan
energi yang lebih bagi penonton karena kita harus melihatnya dalam
perspektif yang berbeda agar dapat menerima tafsir baru dari sang
sutradara.
Peristiwa tersebut merupakan bagian dari pertunjukan Tusuk Konde yang merupakan tetralogi dari Opera Jawa karya dan sutradara Garin Nugroho. Dipentaskan tanggal 24-25 Oktober 2010 di Gedung teater besar STSI Surakarta sebagai bagian dari pementasan keliling yang telah dilakukan sebelumnya di Amsterdam, Belgia, Paris, dan London.
Menggabungkan pertunjukan dengan beberapa ahli di bidangnya masing-masing seperti Komposer oleh Rahayu Supanggah, Koreographi gerak oleh Eko Supriyanto, Penata lampu oleh Iskandar Loedin dan Seniman Instalasi Heri dono maka lahirlah karya yang juga memiliki kualitas akan kedalaman interpretasi yang layak kita apresiasi. Kedalaman penjelajahan yang luas akan tema dasar yang digunakan di dalam pertunjukan ini dan konsep baru dalam pemanggungan di dalam garapan ini setidaknya dapat membuat kita mengerti bahwa seni pertunjukan, dalam hal ini sebagai sebuah pertunjukan teater dapat saja ia tidak harus selalu berdiri sendiri. Ia dapat menyatu dengan tari, seni rupa, teknologi dan lainnya, sebagai kerja yang menggabungkan bentuk-bentuk eskpresi pertunjukan dengan elemen wayang, teater modern hingga upacara-upacara , maka hal tersebut telah tampak sebagai kekuatan pertunjukan ini.
Dari pertunjukan ini, walau judul di booklet adalah teater musikal, namun kekuatan musik, gerak dan visual unsur rupa di panggung juga sangat berimbang sehingga penamaan istilah yang kiranya mengganggu rasanya tidaklah menjadi persoalan yang mendasar walau kita juga harus mempertanyakan dan mencari jawabannya sendiri. Gerak-gerak yang dihasilkan sepanjang pertunjukan ini sebenarnya tidaklah terlalu lepas dari konvensi atau pakem-pakem tari itu sendiri , sebagai sebuah akar dari eksplorasinya tentunya kelihatan sangat men-jawa sekali dimana Garin sudah membatasi pertunjukan ini bahwa inilah Jawa Multikultur yang bertemu Sunda, Minang, Nias dan seni rupa modern. Dengan interpretasi Heri Dono akan penggunaan visual rupa di dalam pertunjukan dengan menggunakan manekin dan bentuk baru terhadap wayang, maka terlihat sekali bahwa memang Garin menyukai komunikasi yang tidak saja verbal dengan kalimat-kalimat dari para aktor dan aktris namun komunikasi non verbal tersebut juga merupakan kekuatannya dan hal ini dapat kita lihat juga dari latar belakangnya yang merupakan seorang sutradara film dengan pilihan-pilihan judul- di dalam karyanya seperti pasir berbisik, surat untuk bidaradari, out the three, generasi biru, dll nya.
Walaupun pada bagian-bagian awal audiens diarahkan untuk mencermati suasana yang ingin dibangun oleh sutradara tentunya dengan tarikan emosi penonton dengan beberapa simbolisasi yang tercipta lewat material dramaturgi yang penuh akan interpretasi, seperti kukusan besar dan kukusan kecil yang terbuat dari bambu namun ketika memasuki bagian kedua , ketiga dan keempat dari pertunjukan ini, semuanya menjadi cair dan segar tentunya tanpa menanggalkan kaidah pertunjukan tersebut, dari penciptaan simbolisasi diatas panggung, kemudian diubah dengan perlahan suasana yang komikal lepas dari karakter tokoh tersebut, dan bila melihat konsep teater modern hal inilah dicoba oleh Garin dipakai dalam pertunjukan, Alinasi atau V-Effek yang digagas oleh Bertolt Brech seorang sutradara teater dari Jerman era perang Dunia ke II. Alinasi dianggap dapat membuat penonton sadar bahwa yang ditonton adalah sebuah tontonan semata dan penonton tidak harus mengeluarkan empati dan simpati yang berlebihan kepada pertunjukan tersebut, dan seorang aktor juga kembali disadarkan bahwa ia tetaplah sebagai seorang pelaku di atas panggung, tentu saja konsep teater ini juga tidak mengenyampingkan bahwa esensi pertunjukan juga merupakan baut perubahan kebudayaan bagi masyarakatnya untuk menjadi kritis memaknai kehidupan sekitarnya tersebut.
Dengan interpretasi Heri Dono juga lah kiranya kita harus melihat bahwa pertunjukan ini memiliki kekuatannya, beberapa manekin yang digunakan ketika matinya Rahwana dan bentuk baru wayang sangat banyak di pertunjukan ini, maka konsep penyutradaraan yang diusung Garin perlu kita cermati sebagai kemajuan teater di Indonesia.
Sangat banyak sekali kecendrungan-kecenderungan kita para seniman selalu berkutat dengan dunianya saja tanpa mau mencoba melakukan interaksi di dalam garapannya untuk menemukan suatu kebaruan-kebaruan pertunjukan. Stagnasi kiranya hal itulah yang dapat disandangkan bagi para pelaku teater Indonesia, di besarkan dengan tradisi teater Barat namun enggan untuk melihat kekayaan lokalitas etnik yang beragam sebagai sumber berkarya. Tradisi teater dengan penggunaan Naskah luar pun seakan menumpulkan kearifan lokal kita yang telah hidup dan bertahan puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, dan dengan garapan Tusuk Konde ini kiranya para pelaku teater ke depannya juga dapat melihat sisi potensial lokalitas etnik kita yang beragam sebagai kekuatan dalam kekaryaan tersebut.
Memang bila kita mencermati fenomena beberapa issu pertunjukan hari ini, sangat banyak yang ditawarkan kepada kita, Multikulturalisme, ruang publik hingga street performance yang gencar menyusupi ranah kebudayaan kita, namun semuanya tersebut tentunya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bentukan teater hari ini. Dan tidak ada kata yang kita lewati selain saling pengaruh-pengaruhi atau saling keterpengaruhi tentunya bukan hal yang asing lagi.
Cermati saja, ketika beberapa sutradara dunia seperti Eugenio Barba dengan teater Antropologi, Peter Brook dengan teater Multikulture, Augusto Boal dengan teater pendidikan, Robert Wilson dengan teater visual, Stanilavski dengan teater realisme,Vsevolod dengan teater Bio Mekanik, Bertolt Brecht dengan Teater Rakyat telah berhasil mempengaruhi periodesasi kekaryaan teater Kita pada abad 19 jauh sebelum konsep tersebut muncul tentunya mereka dalam tahap pencarian bentuk memiliki tentangan dan pro kontra seperti yang kita ketahui dalam literature teater barat, sehingga akhirnya menemukan style kekaryaan tersebut dan dapat diterima oleh masyarakat.Dan hari ini pun, sangat banyak ragam pertunjukan teater yang telah mencoba-coba metode penyutradaraannya yang lepas dari bentuk yang lama sebagai wujud ekspresi dan penggalian mereka sendiri, namun keseluruhannya tersbut tentunya juga masih mencari jalannya masing-masing, dengan menerapkan berbagai ekspreimentasi pada pertunjukan teaternya tersebut.
Ketika kita mendengar betapa fenomenalnya pementasan I Lagaligo dan King Lear, kita tersadarkan kembali akan kekayaan seni dan budaya yang dimiliki bangsa ini. Dan bukan semerta-merta mengatakan banyak mereka tyang meniru konsep penyutrrdaaan tersebut, namun saling keterpengaruhan akan suatu karya membuktikan bahwa mainstream pertunjukan tersebut layak untuk diterapkan agar kita tidak melupaka kebudayaannya sendiri. Dan menikmati pertunjukan Tusuk Konde Ini, setelah matinya Rahwana dan Sinta di tangan Rama bukanlah dimaknai sebagai kematian harafiah, terutama bagi seni pertunjukan memberikan makna tersirat bahwa setelah ini, maka siapapun boleh hidup kembali dengan berbagai modifikasi bentuk seni pertunjukannya. Inilah tafsir saya, salah satu tafsir dari hampir tiga ratus penonton yang menikmati pertunjukan di malam itu.Selamat menikmati tafsir anda..
Peristiwa tersebut merupakan bagian dari pertunjukan Tusuk Konde yang merupakan tetralogi dari Opera Jawa karya dan sutradara Garin Nugroho. Dipentaskan tanggal 24-25 Oktober 2010 di Gedung teater besar STSI Surakarta sebagai bagian dari pementasan keliling yang telah dilakukan sebelumnya di Amsterdam, Belgia, Paris, dan London.
Menggabungkan pertunjukan dengan beberapa ahli di bidangnya masing-masing seperti Komposer oleh Rahayu Supanggah, Koreographi gerak oleh Eko Supriyanto, Penata lampu oleh Iskandar Loedin dan Seniman Instalasi Heri dono maka lahirlah karya yang juga memiliki kualitas akan kedalaman interpretasi yang layak kita apresiasi. Kedalaman penjelajahan yang luas akan tema dasar yang digunakan di dalam pertunjukan ini dan konsep baru dalam pemanggungan di dalam garapan ini setidaknya dapat membuat kita mengerti bahwa seni pertunjukan, dalam hal ini sebagai sebuah pertunjukan teater dapat saja ia tidak harus selalu berdiri sendiri. Ia dapat menyatu dengan tari, seni rupa, teknologi dan lainnya, sebagai kerja yang menggabungkan bentuk-bentuk eskpresi pertunjukan dengan elemen wayang, teater modern hingga upacara-upacara , maka hal tersebut telah tampak sebagai kekuatan pertunjukan ini.
Dari pertunjukan ini, walau judul di booklet adalah teater musikal, namun kekuatan musik, gerak dan visual unsur rupa di panggung juga sangat berimbang sehingga penamaan istilah yang kiranya mengganggu rasanya tidaklah menjadi persoalan yang mendasar walau kita juga harus mempertanyakan dan mencari jawabannya sendiri. Gerak-gerak yang dihasilkan sepanjang pertunjukan ini sebenarnya tidaklah terlalu lepas dari konvensi atau pakem-pakem tari itu sendiri , sebagai sebuah akar dari eksplorasinya tentunya kelihatan sangat men-jawa sekali dimana Garin sudah membatasi pertunjukan ini bahwa inilah Jawa Multikultur yang bertemu Sunda, Minang, Nias dan seni rupa modern. Dengan interpretasi Heri Dono akan penggunaan visual rupa di dalam pertunjukan dengan menggunakan manekin dan bentuk baru terhadap wayang, maka terlihat sekali bahwa memang Garin menyukai komunikasi yang tidak saja verbal dengan kalimat-kalimat dari para aktor dan aktris namun komunikasi non verbal tersebut juga merupakan kekuatannya dan hal ini dapat kita lihat juga dari latar belakangnya yang merupakan seorang sutradara film dengan pilihan-pilihan judul- di dalam karyanya seperti pasir berbisik, surat untuk bidaradari, out the three, generasi biru, dll nya.
Walaupun pada bagian-bagian awal audiens diarahkan untuk mencermati suasana yang ingin dibangun oleh sutradara tentunya dengan tarikan emosi penonton dengan beberapa simbolisasi yang tercipta lewat material dramaturgi yang penuh akan interpretasi, seperti kukusan besar dan kukusan kecil yang terbuat dari bambu namun ketika memasuki bagian kedua , ketiga dan keempat dari pertunjukan ini, semuanya menjadi cair dan segar tentunya tanpa menanggalkan kaidah pertunjukan tersebut, dari penciptaan simbolisasi diatas panggung, kemudian diubah dengan perlahan suasana yang komikal lepas dari karakter tokoh tersebut, dan bila melihat konsep teater modern hal inilah dicoba oleh Garin dipakai dalam pertunjukan, Alinasi atau V-Effek yang digagas oleh Bertolt Brech seorang sutradara teater dari Jerman era perang Dunia ke II. Alinasi dianggap dapat membuat penonton sadar bahwa yang ditonton adalah sebuah tontonan semata dan penonton tidak harus mengeluarkan empati dan simpati yang berlebihan kepada pertunjukan tersebut, dan seorang aktor juga kembali disadarkan bahwa ia tetaplah sebagai seorang pelaku di atas panggung, tentu saja konsep teater ini juga tidak mengenyampingkan bahwa esensi pertunjukan juga merupakan baut perubahan kebudayaan bagi masyarakatnya untuk menjadi kritis memaknai kehidupan sekitarnya tersebut.
Dengan interpretasi Heri Dono juga lah kiranya kita harus melihat bahwa pertunjukan ini memiliki kekuatannya, beberapa manekin yang digunakan ketika matinya Rahwana dan bentuk baru wayang sangat banyak di pertunjukan ini, maka konsep penyutradaraan yang diusung Garin perlu kita cermati sebagai kemajuan teater di Indonesia.
Sangat banyak sekali kecendrungan-kecenderungan kita para seniman selalu berkutat dengan dunianya saja tanpa mau mencoba melakukan interaksi di dalam garapannya untuk menemukan suatu kebaruan-kebaruan pertunjukan. Stagnasi kiranya hal itulah yang dapat disandangkan bagi para pelaku teater Indonesia, di besarkan dengan tradisi teater Barat namun enggan untuk melihat kekayaan lokalitas etnik yang beragam sebagai sumber berkarya. Tradisi teater dengan penggunaan Naskah luar pun seakan menumpulkan kearifan lokal kita yang telah hidup dan bertahan puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, dan dengan garapan Tusuk Konde ini kiranya para pelaku teater ke depannya juga dapat melihat sisi potensial lokalitas etnik kita yang beragam sebagai kekuatan dalam kekaryaan tersebut.
Memang bila kita mencermati fenomena beberapa issu pertunjukan hari ini, sangat banyak yang ditawarkan kepada kita, Multikulturalisme, ruang publik hingga street performance yang gencar menyusupi ranah kebudayaan kita, namun semuanya tersebut tentunya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bentukan teater hari ini. Dan tidak ada kata yang kita lewati selain saling pengaruh-pengaruhi atau saling keterpengaruhi tentunya bukan hal yang asing lagi.
Cermati saja, ketika beberapa sutradara dunia seperti Eugenio Barba dengan teater Antropologi, Peter Brook dengan teater Multikulture, Augusto Boal dengan teater pendidikan, Robert Wilson dengan teater visual, Stanilavski dengan teater realisme,Vsevolod dengan teater Bio Mekanik, Bertolt Brecht dengan Teater Rakyat telah berhasil mempengaruhi periodesasi kekaryaan teater Kita pada abad 19 jauh sebelum konsep tersebut muncul tentunya mereka dalam tahap pencarian bentuk memiliki tentangan dan pro kontra seperti yang kita ketahui dalam literature teater barat, sehingga akhirnya menemukan style kekaryaan tersebut dan dapat diterima oleh masyarakat.Dan hari ini pun, sangat banyak ragam pertunjukan teater yang telah mencoba-coba metode penyutradaraannya yang lepas dari bentuk yang lama sebagai wujud ekspresi dan penggalian mereka sendiri, namun keseluruhannya tersbut tentunya juga masih mencari jalannya masing-masing, dengan menerapkan berbagai ekspreimentasi pada pertunjukan teaternya tersebut.
Ketika kita mendengar betapa fenomenalnya pementasan I Lagaligo dan King Lear, kita tersadarkan kembali akan kekayaan seni dan budaya yang dimiliki bangsa ini. Dan bukan semerta-merta mengatakan banyak mereka tyang meniru konsep penyutrrdaaan tersebut, namun saling keterpengaruhan akan suatu karya membuktikan bahwa mainstream pertunjukan tersebut layak untuk diterapkan agar kita tidak melupaka kebudayaannya sendiri. Dan menikmati pertunjukan Tusuk Konde Ini, setelah matinya Rahwana dan Sinta di tangan Rama bukanlah dimaknai sebagai kematian harafiah, terutama bagi seni pertunjukan memberikan makna tersirat bahwa setelah ini, maka siapapun boleh hidup kembali dengan berbagai modifikasi bentuk seni pertunjukannya. Inilah tafsir saya, salah satu tafsir dari hampir tiga ratus penonton yang menikmati pertunjukan di malam itu.Selamat menikmati tafsir anda..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar