Selasa, 02 Juli 2013

Kritik Pertunjukan "Sang Pemetik" Koreografer Sherly Novalinda

Sang Pemetik
(sebuah catatan oleh Marfaizon Pangai)

Kayuaro, 12 Maret 2011. Dari kejauhan, sayup alunan musik klasik merambat ke telinga. Vivaldi, kukira. Aku bersama rombongan tamu sedang berjalan menuju lokasi pementasan. Pukul 10 lewat. Langit terang-benderang. Panas makin terik. Peluh mulai netes. Menjelang tikungan, kami disambut pemandangan sepasang 'bule' yang sedang bercengkerama menghadap hamparan permadani teh. Hijau menyelubungi mata. Melihat kami mendekat, mereka pun beranjak dan berjalan mendahului. Sebentar kemudian, dari jarak sekitar 20 meter, kami melihat sesuatu yang ganjil: empat pemusik, berpakaian hitam putih berdasi kupu-kupu ala jaman bien, berdiri menghadang jalan, tengah memainkan biola dan entah apa lagi. Aku tak yakin itu Vivaldi. Mungkin Mozart atau Brahms. Quartet tadi mengiringi tuan-tuan Belanda yang tengah berpesta dan berdansa. Ditemani noni-noni, barang tentu. Mereka bergerak berkisar berpasangan dari satu meja ke meja lain, bercakap-cakap sambil minum teh. Adegan ini di tengah jalan, tampak meriah tapi hikmat, diapit tebing dan jurangan tanaman teh.

Kami disilakan duduk, berbaur dengan para tuan dan noni Belanda. Juga disuguhi teh. Musik masih mengalun, berayun-ayun. Tak semua undangan mendapatkan tempat duduk. Yang berdiri, menyatu dengan pemain. Bukit dan lembah teh saling kirim kembali bebunyian musik itu ke langit biru. Pilu dan memancing rindu. Sepuluh menit berlalu, kemudian kami pun mulai beranjak. Di tengah kerumunan, tampak Pak Sri Hastanto, seorang profesor tari dari ISI Solo, masih berbicara dengan promovendusnya, Sherly Novalinda.

***
Kisah Belanda di Kerinci dimulai awal tahun 1800-an. Dengan alasan memperluas jaringan perdagangan dengan masyarakat lokal, Inggris mengirimkan dua kali tim ekspedisinya ke Kerinci melalui pantai barat; tahun 1800 dipimpin oleh Charles Campbell, dan oleh Thomas Barnes pada 1818. Cerita tangan pertama dari Inggris ini merupakan informasi yang sangat bernilai bagi Belanda, terutama untuk rencana Sumatra Expeditie-nya tahun 1877-1879. Tujuan utama ekspedisi ilmiah ini adalah menyibak rahasia lembah Kerinci. Tapi akhirnya wilayah ini dicoret dari daftar tujuan karena Belanda khawatir orang Kerinci tidak bisa membedakan antara ekspedisi ilmiah dengan misi spionase pemerintah Belanda.

Namun, perhatikanlah Tuan-tuan. Belanda sungguh tak kuasa menepis godaan negeri yang memang mooi ini. Tahun 1901, kembali Belanda mengirimkan ekspedisi militer ke Kerinci dengan dalih bahwa wilayah ini telah membantu pemberontakan Sultan Taha menentang Belanda. Invasi pertama ini digagalkan oleh pejuang-pejuang dari Lolo yang dipimpin Depati Parbo. Barulah tahun 1903, setelah tiga kali penyerangan, Belanda berhasil menduduki Kerinci. Perlawanan masyarakat Kerinci masih berlanjut hingga tahun 1906.

Kita tahu, apapun alasan bagi masuknya bangsa asing ke negeri ini, niatnya tetaplah penguasaan ekonomi-politis. Belanda telah memperkenalkan penanaman dan perdagangan rempah secara luas di Kerinci. Kopi, Kayumanis, dan teh di antaranya. Tapi kita juga tahu, hanya tanaman teh yang masih meninggalkan monumen kokoh bagi tautan masa lalu Kerinci dengan bangsa Eropa. Dibuka tahun 1925-1928, perkebunan teh Kayuaro masih berdiri hingga saat ini di bawah manajemen PT Perkebunan Nusantara VI (Persero). Penanaman perdana dimulai 1929, dan pabriknya 1932.


***

Musik masih terdengar di belakang saat kami melihat sebuah konstruksi berbentuk kapal di kejauhan. Di kiri, setentang tebing, sekitar 10 M menjelang kapal, bersandar lima orang bocah laki-perempuan mengenakan topeng dan kemben. Mereka mematung. Begitu kami tiba, musik pun bertingkah dan mereka pun bergerak mulai menari. Dalam suasana ini, aku sempatkan menoleh ke belakang; karyawan pemetik teh yang kulihat di jurangan sebelah kanan tadi masih meneruskan pekerjaannya.

***

''Kegiatan kita sehari-hari, termasuk memetik teh, pada dirinya sendiri sudah merupakan tari,'' kata Sherly memulai penjelasan tentang konsepnya mengusung tari ke tengah hamparan perkebunan teh Kayuaro. ''Tinggal lagi bagaimana cara membangun suasana hubungan antara pemetik dengan kebun teh, dan menghidupkan makna dalam proses hubungan itu, dan saya mendapatkannya dalam sejarah panjang perkebunan ini. (Hal ini) sungguh menggugah semangat hidup.'' Kemudian Sherly mempertontonkan sebuah film dokumenter tari di suatu lokasi pertambangan, seakan meneguhkan argumentasinya bahwa tari yang akan dipentaskannya nanti merupakan sesuatu yang lazim dalam dunia akademis dan memang layak dipanggungkan di perkebunan teh. Saya hanya manggut-manggut, berusaha untuk menyandingi jalan pikiran mahasiswa S2 ini. Dia putri Kerinci, menyelesaikan S1 di Padang Panjang, dan kini sedang mengupayakan ujian magister tarinya di kebun teh Kayuaro.

***
Memahami seni apapun di masa kini memang membutuhkan energi dan daya tahan tersendiri. Demi pencarian akan kebaruan, seni seakan senantiasa menolak untuk masuk ke dalam kerangkeng definisi. Dalam tari, misalnya, tengoklah 'Selamat Datang dari Bawah'. Ini sebuah koreografi karya Fitri Setyaningsih, yang oleh TEMPO baru-baru ini dinobatkan sebagai 'Tokoh Seni 2010'. Instalasi tari ini--- demikian mereka menyebutnya--- dibangun atas tiga bahan dasar: kisah Franz Schubert, komponis Austria yang melatih tangannya dengan batu; wawasan Zen tentang pikiran yang terjebak dalam balok es; dan instalasi Bodyscape karya Titarubi. Lantas, bagaimana jadinya tari ini? Bahkan seorang H.D. Halim, pengamat seni pertunjukan kawakan, pun mempertanyakan keabsahan karya ini sebagai tari.

Barangkali inilah praktik seni gaya posmo: canggih dan manasuka; njelimet dan siapapun bebas menafsirkannya menjadi apapun. Selain karya Fitri di atas, kita ambil Glow sebagai contoh terkini. Glow diciptakan oleh Gideon Obarzanek dari kelompok tari Chunky Move asal Melbourne, Australia. Koreografi ini memadukan gerak tubuh dan teknologi pencahayaan. Pergumulan antara gerak-gerik tarian dan saling-silang cahaya yang disorotkan ke panggung menghasilkan kesan seolah penari bergelut dan bertukar tangkap-dan-lepas dengan bayangannya sendiri. Dan, Anda tahu, mereka masih menyebutnya seni tari.

***

Kami, tamu undangan, berjalan terus mendekati konstruksi berbentuk kapal tadi, sementara anak-anak berkemben dan bertopeng perlahan-lahan menari mundur menuju kapal. Di situ, di tengah kapal, sudah duduk menunggu seorang tua seusia 100-an tahun. Setibanya kami, musik berhenti dan para penari tadi diam mematung dalam posisi tari. Maka mulailah tetua tadi berkisah dalam bahasa Jawa: Belanda mulai membuka kebun teh di Kayuaro pada awal 1920-an. Tenaga kerja didatangkan dari Jawa karena penduduk setempat tidak suka bekerja di perkebunan. Mereka didatangkan dengan kapal berombongan; terikat dalam ruh persamaan nasib dan penanggungan. Begitu kuatnya ikatan itu, sampai-sampai mereka menganggap diri sebagai sebuah keluarga besar sedarah hingga saat ini. Pak tua tadi juga bercerita tentang perlakuan kasar mandor-mandor perkebunan dari bangsa sendiri, kerasnya disiplin kerja, dan berbagai permainan dan nyanyian yang meningkahi jam-jam kerja yang melelahkan. Bagaimana para pemetik bergunjing saat bekerja, tentang tetangga yang selingkuh dan suami-suami yang main serong. Atau tentang uang belanja yang tak pernah cukup.

Setelah sekitar sepuluh menit berlalu, kami pun dibawa berjalan lagi. Kali ini ke tempat pertunjukan yang sesungguhnya. Kursi-kursi untuk tamu diletakkan sejajar menghadap petakan teh, yang menghampar membukit seperti bentangan karpet hijau yg dijemur. Hampir pkl 12 siang. Tak ada penutup kepala pula. Meski sejuk dan dihembus angin, peluh tak mau berhenti. Tapi itu tak masalah, karena ini bukan tarian biasa (bagi kami).

Di atas bentangan karpet hijau tanaman teh tadi, tampak lima titik tudung kepala dari anyaman bambu yang disusun persegi, dengan jarak antartitik sekitar 3-5 M. Pecahan cermin yang ditempelkan di puncak tudung-tudung itu berkilauan ditimpa mentari siang, dan berpadu dengan aneka warna selendang yang membentang di atas tanaman teh dari setiap sudut tudung tadi. Sementara itu, dari arah kiri kami, tampak serombongan perempuan pemetik bergegas memasuki arena sambil berceloteh tentang entah apa. Diiringi musik yang membahana di siang jalang, mereka langsung menuju panggung, melakukan gesture memetik teh tanpa melepaskan obrolan tentang perkara kehidupan rumah tangga dan tetangga. Tak lama berselang, seiring meredanya bunyi musik, mereka bergerak mundur dan menepi berbaris, masih tetap mempercakapkan sesuatu. Perlahan, kembali diiringi musik yang saling sahut dari tebing di belakang kami dan di rendahan di depan, satu titik tudung yang disusun persegi tadi muncul bergerak menampilkan gerakan gemulai menyerupai tari, disusul bergantian oleh titik-titik tudung yang lain. Permadani teh yang membentang hijau berubah menjadi panggung pertunjukan tari.

***

Terus terang, aku tidak mau ikut-ikutan dalam perdebatan apakah ini masih tergolong tari atau bukan. Kami--- aku, tamu undangan, dan pemain pembantu yg direkrut dari warga desa terdekat--- mungkin saja tidak mampu mencerna dan memahami aneka idiom tari dan kosagerak yg terhidang dalam tarian ini. Tapi darinya kami telah merasakan sesuatu yang nostalgis dan magis, sesuatu yng muncul dari kedalaman purba kami; buhul kami dengan alam, dan kerinduan kami pada asal- muasal. Inilah juga agaknya yg dirasakan oleh masyarakat Sei Asam, tempat sebagian besar para pendukung pertunjukan ini berasal; bukti hidup bagi keturunan ‘koeli kontrak’ yang telah beranak-pinak hingga lima generasi. Aku menyaksikan luapan passion mereka dalam membantu segala sesuatunya untuk kelancaran perhelatan ini---tak kenal waktu tak pandang usia, semua dan segala berlomba-lomba turut serta. Tiba-tiba, sepotong sajak Octavio Paz menyeruak di kepalaku: ''Langkahku di sepanjang jalan ini menggema di jalan lain. Di situ aku mendengar langkah-langkahku menapak di sepanjang jalan ini. Jalan mana, hanya kabut yang nyata.''

Bagiku, tari atau bukan, 'Sang Pemetik' ---yang dibangun atas masa silam kolonial Belanda, alam sakti Kerinci, dan pemetik teh--- adalah sebuah permainan bernas. (Oh ya, dalam proyeknya ini, Sherly juga menampilkan aneka permainan tradisional yg pernah dilakoni anak-anak kebon tempo doeloe.) ''Dunia ide-ide dan opini,'' mengutip intelektual asal Iran Abdul Karim Soroush, ''merupakan suatu game, dan sifat game inilah---alih-alih hasilnya--- yang lebih berharga.'' Dan tubuh, yang juga bergerak-gerak dan hilir-mudik dalam 'Sang Pemetik', adalah negosiasi antara berbagai motif gerak dan beragam pemaknaan yang paling memungkinkan. Dan makna adalah saling kait antara pelbagai idiom dalam konteks ruang-waktu tertentu. Belanda-Alam-Pemetik Teh telah berpadu-kelindan dalam permainan tubuh 'Sang Pemetik' di Kayuaro. Tuan-tuan dan Puan-puan, perlu kutegaskan di sini, inti sesungguhnya dari semua ini adalah permainan dan bagaimana kita mengimbuhkan makna ke dalam permainan itu. Selebihnya hanyalah soal remeh-temeh penafsiran. Ayo, mari kita terus bermain!* (Marfaizon Pangai)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar