Oleh Din Saaduddin
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat luas dengan banyak pulau
dan suku bangsa yang ada. Dua pertiga wilayah negara kita adalah lautan
dan sisanya adalah daratan. Sebagai sebuah negara yang memiliki
wilayah perairan yang luas, hal ini memungkinkan terjadinya akulturasi
dalam berbagai caranya terhadap perkembangan seni dari masing-masing
daerah hingga akhirnya membentuk jati diri bentuk kesenian yang ada di
negara kita. Potensi seni dan budaya bangsa kita, dengan jumlah etnis
yang sangat banyak dan memiliki ribuan bentuk seni dan budaya, kiranya
dapat menjadi posisi tawar kita di mata dunia. Adalah sebuah kebanggaan
tersendiri bagi kita dapat mengangkat kehidupan seni dan budaya kita
sehingga menghasilkan tambahan devisa negara seperti negara–negara di
Asia Pasifik yang sudah terlebih dahulu menjadikannya sebagai potensi
devisa. Negara-negara tersebut adalah Malaysia, Thailand, Singapura dan
Cina. Adapun kesenian yang tersebar di negara kita sendiri, sebenarnya
juga tidak kalah menarik dengan kesenian yang ada di beberapa negara
tersebut. Bentuk-bentuk kesenian yang ada di negara kita sangatlah
banyak sekali bentuk dan jenisnya. Ada yang berbentuk modern dan
tradisi. Bentuk-bentuk kesenian tersebut bila kita amati sangatlah
banyak karena juga berhubungan dengan kebutuhan ekspresi masyarakatnya.
Baik itu seni yang mengarah ke nilai-nilai konsumtif hingga kesenian
yang bersifat hedonistik. Kemudian kesenian tradisi, di negara ini juga
sangat banyak bahkan karena begitu banyaknya hingga hari ini pun tidak
juga selesai program dari pemerintah Dirjen pariwisata dan kebudayaan
dalam menghimpunnya menjadi sebuah direktori kebudayaan. .
Keragaman kesenian kita meliputi seluruh wilayah dari Aceh, Papua,
hingga daerah Talaud yang berbatasan dengan Filipina. Sebenarnya
keberagaman aset seni pertunjukan kita tersebut pun juga telah mulai di
data sebagai warisan nenek moyang etnis masing-masing. Walaupun tidak
dilakukan oleh pemerintah daerah, tapi kebanyakan dilakukan atau
didokumentasikan oleh lembaga-lembaga kebudayaan seperti yang telah
dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Seni Nusanatara (PSN) pimpinan Edo
Suanda. Dapat kita temukan di beberapa dokumentasinya, sangat kaya
ragam bentuk dan sifat kesenian tersebut walaupun yang masih
mendominasi adalah bentuk seni pertunjukan yang mengarah ke seni tari.
Namun juga terdapat bentuk teater yang lebih mengarah ke sifatnya yang
ritual yang penuh dengan bentuk upacara-upacara sakral.
Di antara berbagai bentuk pertunjukan yang akan dibicarakan, teater
tentunya juga perlu dilihat sebagai sebuah seni pertunjukan yang
merakyat. Merakyat di dalam artiannya adalah bahwa ia selalu melibatkan
masyarakat umum di dalam sejarah pertunjukan ini di Indonesia. Karena
tentunya sejarah pembentukan dan fungsi pertunjukan teater di Indonesia
berbeda dengan tradisi yang dihasilkan oleh negara Eropa dan Barat
sebagai tempat kebanyakan teater modern Indonesia berkiblat.
Kata teater berasal dari kata theatron, kata yunani yang memiliki arti seiing place,
tempat tontonan, sedangkan kata theatron digunakan untuk menggambarkan
bangku-bangku yang berputar setengah lingkaran dan mendaki ke arah
lereng bukit yang berfungsi sebagai tempat duduk penonton ketika drama
yunani klasik berlangsung. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya,
di Indonesia, pengertian teater tersebut sudah beradaptasi dengan
tradisi penciptaan teater Indonesia yang lebih merujuk kearah Barat,
dimana konsep penulisan terhadap naskah lakon menjadi lebih penting
dikedepankan, karena pertunjukan teater tersebut juga mempertimbangkan
unsur dramatik pertunjukannnya.
Di Indonesia, sebelum euforia dan pengaruh teater Barat yang memiliki
orientasi kepada naskah lakon melanda Indonesia dengan lakon Bebasari
kurun waktu tahun 1930-an dan diikuti kemudian oleh naskah lakon-naskah
lakon yang ditulis oleh para teaterawan Indonesia setelah Indonesia
merdeka, kita telah memiliki bentuk teater yang yang kaya akan nilai
dan falsafah kehidupan. Bentuk–bentuk teater tersebut mengakar dan hidup
serta berkembang di tengah masyarakat Indonesia yang berkebudayaan
agraris dan masyarakat Indonesia yang berkebudayaan pesisir,
berhubungan dengan kaitannya pertunjukan tersebut yang dipertunjukan
untuk penghormatan kepada penguasa alam semesta dan ucapan rasa syukur
karena diberkatinya hasil kerja mereka tersebut.
Banyak bentuk-bentuk teater tradisi ini akhirnya juga memiliki
nilai-nilai sosio-religiius. Yang merupakan suatu bentuk penyikapan
akan hubungan mereka dengan alam gaib yang menguasai dan menaungi
kehidupan bermasyarakat mereka sebagai masyarakat pedesaan. Teater
tradisi di nusantara sangat memiliki nilai-nilai yang lebih bermakna
dari bentuk kesenian Barat. Bila di Barat bentuk kesenian mereka secara
umum berguna untuk menghibur masyarakatnya yang sudah melewati
masyarakat pra industrial dan menjadikan seni media penggalian estetika
manusia terhadap seni itu, maka berbeda sekali dengan orientasi
teater di nusantara yang lebih berorientasi kepada nilai-nilai
kehidupan dan bukan sekedar menghibur saja namun lebih merupakan
sebagai bentuk pengakuan terhadap alam semesta ini . dan penamaan
terhadap teater nusantara ini memang sering diidentifikasikan sebagai
pertunjukan teater tradisi.
Secara bentuk, teater di dalam jagatnya dapat dibedakan, seperti
teater tradisional dan teater non tradisi. Teater tradisional merupakan
suatu bentuk teater yang lahir, tumbuh dan berkembang di suatu daerah
etnik, yang merupakan hasil kreatifitas kebersamaan dari suatu suku
bangsa di indonesia. Bentuk nya berakar dari kearifan budaya etnik
setempat yang erat dengan masyarakat pemiliknya dan telah dikenal oleh
masyarakat lingkungannya.
Teater yang berbentuk tradisional dari suatu daerah di Indonesia,
umumnya selalu berangkat dari gaya sastra lisannya yang banyak dimiliki
tiap etnis, sastra lisan tersebut dapat berupa pantun, syair ,
legenda, dongeng dan cerita rakyat setempat . Dan tradisi dalam konteks
teater ini sejalan dengan pernyataan Rendra dalam bukunya
Mempertimbangkan Tradisi, yakni :Tradisi ialah kebiasaan yang
turun-temurun dalam sebuah masyarakat. Ia merupakan kesadaran kolektif
sebuah masyarakat.Sifatnya luas sekali, meliputi segala kompleks
kehidupan, sehingga sukar disisih-sisihkan dengan pemerincian yang
tetap dan pasti.Terutama sulit sekali diperlakukan serupa itu karena
tradisi itu bukan obyek yang mati. Melainkan alat yang hidup untuk
melayani manusia yang hidup pula.Ia bisa disederhanakan , tetapi
kenyataannya tidak sederhana Dan berdasarkan Kamus Umum Bahasa
Indonesia (1976), tradisi ialah segala sesuatu (seperti:kepercayaan,
kesenian, kebiasaan, ajaran) yang dianut secara turun temurun dari
nenek moyang. Tradisi adalah kebiasaan turun –temurun kelompok
masyarakat berdasarkan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan.
Bentuk-bentuk teater tradisional di Indonesia sebenarnyapun juga sudah
sangat sedikit dapat kita jumpai hari ini, terutama sekali dengan
kurangnya bentuk kepedulian pemerintah dalam memberdayakan dan
melestarikan warisan kebudayaanya. Seperti di didalam dua tahun ini
saja kita telah kehilangan tiga maestro seni , satu dari tokoh maestro
teater Mendu Kepulauan Riau yang meninggal, maestro tari Pakarena dari
Makasar. Serta maestro zapin dari Bengkalis. Kehilangan seorang maestro
seni, berarti kita akan kehilangan juga seorang guru dan tempat
bertanya dalam kesejarahan seni tersebut.dan dalam fenomena ini pula,
kita seharusnya juga semakin menyadari, bahwa hanya tinggal hitungan
waktu saja, maka keberadaan teater-teater tradisi kita akan tinggal
kenangan saja dalam catatan bangsa ini.
Di Indonesia, banyak bentuk pertunjukan teater tradisinya yang jeli
mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai upaya
untuk mempertahankan keberadaannya di masyarakat. Dan tentunya
perubahan tersebut tidak dapat ditahan dan ditekan, karena perubahan
yang terjadi tentunya juga sebagai upaya menciptakan tradisi baru
kembali di dalam teater tradisi tersebut dan sebagai salah satu bentuk
kebudayaan, perubahan ini seharusnya tidak dilihat sebagai sebuah
kecemasan yang berlebihan. Kebudayaan pada manusia dapat mengalami
perubahan. Perubahan yang terjadi dapat melalui proses asimilasi,
akulturasi, penetrasi ataupun infiltrasi. Perubahan yang terjadi dari
waktu ke waktu bergantung dari dinamika masyarakat itu sendiri.
Kartodirjo(1986:5) mengemukakan bahwa sepanjang sejarah kehidupan seni
sebagai salah satu dari totalitas kehidupan manusia budaya selalu
terbawa oleh arus perubahan, karena sifat dari kebudayaan itu sendiri
yang tidak statis, melainkan hidup berkembang, juga sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sjafri Sairin bahwa kebudayaan bukanlah suatu yang
statis.
Di Indonesia, fenomena perubahan terjadi pada sendi–sendi kehidupan di
masyarakat.Hal ini di dukung dengan derasnya pilihan komunikasi yang
ditunjang oleh teknologi informasi. Masyarakat dapat mengetahui
berbagai informasi perkembangan dunia luar melalui televisi, radio,dan
internet yang dapat merubah sistem nilai budaya masyarakat Indonesia
terutama sekali bentuk teater tradisi kita. Sjafri Sairin berpendapat
bahwa kebudayaan selalu berubah mengiringi perubahan yang terjadi pada
kebutuhan hidup bermasyarakat, baik yang disebabkan oleh penetrasi
kebudayaan luar kedalam budaya sendiri atau karena terjadi orientasi
baru dari kalangan internal masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri
. Pendapat ini dapat dilihat pada teater tradisi di berbagai daerah di
nusantara yang sekarang ini memiliki kecenderungan telah mengalami
perubahan bentuk sebagai sebuah konsekwensinya terhadap pilihan
komunikasinya.
Beragam bentuk teater tutur yang tersebar disetiap daerah di Indonesia
antara lain: sinrilik di Sulawesi, Pm Toh dan Didong d Aceh, Kaba di
Sumatera Barat, Kentrung di jawa Timur dll. Di daerah Siulak
Kerinci,terdapat bentuk teater tutur rakyat yang hidup sebagai bagian
kehidupan masyarakat Siulak tersebut. Bentuk pertunjukan ini diperankan
oleh satu orang maupun pergantian tokohnya menggunakan tokoh lain yang
dibawakan secara bertutur. Adapun kisah yang diawakan bercerita
mengenai kehidupan tokoh Tupai Jenjang yang dijadikan objek
penceritaan, penuturan ini dibawakan si penutur dengan cara mengganti
berbagai peran yang dibawakan yang terdapat di dalam struktur ini dengan
menggunakan seluruh elemen panggung.pertunjukan ini biasanya mampu
membawa penonton berempati terhadap tokoh-tokoh yang dibawakan karena
dibawakan dengan gaya bertutur.
Sejarah kehadiran Teater Tutur Tupai Janjang di Siulak Kerinci
Literatur yang menjelaskan mengenai hal ihwal kehadiran teater ini
hingga hari ini belum juga dapat ditemukan, terutama sekali karena
jarangnya penelitan dan kajian mengenai bentuk teater ini. Mungkin saja
karena nilai tradisinya tersebut yang membuat generasi muda enggan
untuk mendekatinya, ataupun mempelajari kesenian ini, sehingga tiak
adanya data-data tertulis mengenai pertunjukan ini, namun yang
menariknya adalah kita masih dapat menjadikan data lisan dari pekerja
atau penutur teater tutur ini yang masih hidup di Siulak Kerinci. dari
beberapa wawancara berdasarkan informasi pada beberapa seniman di
Kerinci ini, kesenian ini awalnya belumlah menjadi sebuah pertunjukan
teater tutur, karena dahulunya pertama kali hanya dibawakan sebagai
sebuah cerita atau kaba saja, terutama sekali dibawakan oleh para
pekerja jembatan di daerah Siulak Kerinci yang berasal dari
Minangkabau. Seringnya cerita ini dibawakan setiap malam membuat
masyarakat yang kreatif didi daerah Siulak kerinci ini, menjadikan
cerita tupai jenjang menjadi sesuatu bentuk pertunjukan teater tutur,
hingga dikenal saat ini oleh masyarakatnya dengan istilah Tupai
Jenjang.
Dari fenomena ini sebenarnya kita dapat mengetahui bahwa pertunjukan
ini bukanlah merupakan kesenian tradisi masyarakat Siulak, namun telah
mengalami transformasi budaya menjadi sebuah pertunjukan milik
masyarakat yang baru dan karena memiliki nilai-nilai falsafah yang
berkaitan dengan kehidupan budaya masyarakat Siulak tersebut, maka ia
dapat diterima menjadi bagian dari masyarakat tersebut hingga
sekarang.
Bentuk Penyajian Teater Tutur Tupai Jenjang
Masyarakat daerah Siulak Kerinci, menyebut teater tutur ini sebagai
tupai jenjang saja, mereka tidak memberi identifikasi sebagai teater
tutur karena ketidaktahuan mereka akan pengetahuan seni teater. Namun
kadang kala juga ada yang menyebutnya sebagai keba atau kaba. namun
lebih seringkali sebut sebagai Tupai Jenjang oleh masyarakat setempat.
Cerita yang dimainkan pada teater tutur ini berbeda sekali dengan
cerita pada berbagai bentuk teater tradisi yang ada di Indonesia. Bila
pada setiap pertunjukan teater tradisi ceritanya yang dibawakan selalu
berubah dan memiliki banyak ragam, tidak halnya pada pertunjukan teater
tutur ini. cerita yang dibawakan selalu hanya satu kisah yakni Tupai
Jenjang saja..
ISI
Teater Tupai Jenjang di era Globalisasi
Kehadiran media televisi, radio dan internet dalam kehidupan di negara
kita karena imbas globalisasi memberi dampak yang tidak sedikit dalam
perubahan di masyarakat.Generasi hari ini yang dimanjakan oleh berbagai
teknologi yang sifatnya praktis, menghibur dan menjauhkan diri dari
realitas social semakin terjauhkan dari berbagai bentuk kesenian tradisi
yang ada. Terutama sekali di daerah Siulak Kerinci.
Dengan perkembangan kemajuan teknologi hari ini, masyarakat muda di
daerah kerinci telah memiliki suatu budaya baru. dimana budaya yang
baru terbentuk erat kaitannnya dengan perkembangan global dunia hari
ini. dimana perputaran ekonomi membuat menjamurnya beberapa warung
internet, sehingga budaya baru tersebut adalah “sarapan di warnet”.
Generasi muda hari ini lebih menyukai bermain di dunia maya, seperti
Playstation, band dan organ tunggal. Ini dapat dilihat dari setiap
helat yang diadakan maka banyak anak-anak sekarang baik itu sd, smp ,
sma dan anak kuliahan di tempat-tempat tersebut. Generasi hari ini
sebenarnya telah dihibur secara instant tanpa memerlukan pemahaman yang
lama, tidak memerlukan tempat yang khusus, tidak perlu pula dibatasi
oleh adat-adat yang menurut mereka usang.
Teater tutur tupai jenjang ini , bila pada tahun 70 an hingga tahun 80
an banyak ditampilkan pada setiap upacara adat, maka pada saat ini
sudah sangat jarang sekali dipentaskan.hanya sesekali saja dipentaskan
dan kebutuhannya hanya sekedar bagian dari promosi dinas pariwisata
saja pada beberapa event. Teater tutur ini telah berubah menjadi
kebutuhan penampilan event budaya daripada ditampilkan sebgai kebutuhan
suatu bagian dari upacara adat.
Namun bila kita ingin melihat kemunduraran yang dialami oleh kesenian
ini , kita juga harus mempertimbangkan faktor internal dan eskternal
yang berhubungan dengan teater tradisi ini.berdasarkan berapa uraian di
latarbelakang dan argumentasi diatas, dapat ditarik beberapa faktor
penyebab teater tradisi ini menjadi kurang akrab lagi di masyarakat
pendukungnya . antara lain sebagai berikut.
1. tidak beragamnya pilihan cerita
cerita merupakan elemen yang sangat penting didalam suatu pertunjukan
teater. Bila di dalam tradisi teater barat terdapat banyak lakon yang
dipentaskan dimana banyak problem sosial yang diangkat, berbeda sekali
denga tupai jenjang ini yang hanya memiliki satu kisah saja. Yaitu
hanya mengenai kisah Tupai Jenjang. Diasumsikan bahwa cerita yang
dimainkan membuat banyak audiens yang tidak merasa tertarik lagi karena
merasa apa yang disampaikan di dalam kisah tersebut tidak memiliki
konteks lagi dengan banyaknya persoalan sosial yang terjadi di
masyarakat dewasa ini. seakan memperlihatkan bahwa ketidakpekaaan
penutur dalam mencoba membuat inovasi cerita sebagai pilihan –pilihan
kepada penonton. Pertunjukan teater tutur ini, yang kiranya menggunakan
konsep akting dan dramaturgi teater Barat seharusnyalah peka
menawarkan bentuk cerita lain agar teater ini mendapatkan tempatnya
sebagai media ekspresi masyarakatnya dalam menyikapi berbagai
persoalan sosial.
2. Bentuk sajian yang konvensional
Bila kita melihat bentuk sajian yang ditampilkan, tidak terdapat adanya
perubahan yang ada di dalam sajian ini. Bila saja ada perhatian
bagaimana ingin mengembangkan kesenian ini,tentunya para penutur ini
juga dapat belajar untuk membuat suatu bentuk hal yang baru dalam
sajiannnya, di dalam sajiannya bila di dilihat dari aspek
musikal,kostum , gaya peran, dan properti yang digunakan sangat tidak
melihatkan adanya perubahan sebagai sebuah konsekwensi agar
keberadaannnya terus berlangsung di tengah masyarakat. Tidak adanya
upaya revitalisasi dan inovasi membuat kesenian ini menjadi semakin
terancam keberadaannnya , diperkirakan bila tiga orang penutur teater
tutur ini sudah mennggal, maka hilang juga lah keseniain ini selamanya,
karena tidak adanya regenarasi penutur karena masih terdapat asumsi dan
membentuk paradigma masyarakat menegnai profesi kesenian ini yang
tidak dapat menghidupi ekonomi pewarisnya bila mereka berprofesi
sebagai penutur.
3. Perbedaan generasi penutur
Perbedaan usia antara penutur dan generasi muda hari ini, kiranya
sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pertunjukan ini. bila dalam
pertunjukan teater-tutur di Aceh PM –TOH telah dikembangkan oleh Agoss
Noor Amal ) dan usianya pun masih muda, maka setidaknya semangat yang
mewakili adalah semangat kaum muda, sehingga semakin jeli melihat
keperluan perubahan dalam pertunjukan ini, sehingga jarak yang ada
antara penutur dan penonton tidak terlalu jauh sehingga sama –sama
mewakili semangat hari ini, sehingga kemungkinkan adanya konteks
terhadap masalah yang dipersoalkan dalam pertunjukan tersebut.
4. Perubahan paradigma masyarakat
Perubahan paradigma yang terjadi di dalam masyarakat, kiranya juga
sangat berperan. Masyarakat hari ini, telah dibuai oleh indahnya
kemudahan-kemudahan fasilitas yang sifatnya unuk pemuas kebutuhan
hidupnya.sangat banyak pilihan hari ini untuk menghibur dirinya yang
instan tersebut.dari banyak nya film VCD dan DVD, murahnya membeli
player pemutarnya, banyaknya hiburan di internet, dan berbagai budaya
pop lainnya mengakibatkan terjadi perbauhahan konsumsi hiburan tersebut
sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. Bila pada tahun 70 dan 80an semuanya
tersebut sulit diperoleh tidak halnya sat ini. dan akhirnya telah
terjadi perubahan orientasi hiburan tersebut. Lagi pula karena faktor
tidak menariknya sajian hari ini yang tidak dapat diandalkan dalam
pertunjukan tersebut, mengakibatkan kesenian teater tutur ini kalah
bersaing dengan berbagai media hiburan yang instan tersebut.
5. Gagalnya peran pemerintah daerah
Pemerintah daerah dapat disebut gagal dalam menciptakan iklim
berapresiasi masyarakatnya. Di dalam hal ini, hampir tidak ada
perhatian pemerintah daerah dalam upaya mengembangkan dan melestarikan
kesenian ini sebagai identitas kebudayaan lokalnya. Tidak ada program
event lokal yang secara konsistent melakukan pergelaran pertunjukan ini
dan melakukan penelitian dan pengembanganya. Hanya ada satu event
kesenian di Kerinci yakni Festifal Masyarakat Peduli Danau Kerinci
..Kesenian terutama bagi pemerintah daerah masih dianggap sebagai
investasi berdasarkan nilai untung rugi. ketika tulisan ini di tulis
pun belum ada juga program pelatihan yang diberikan oleh pemerintah
daerah guna mengangkat kehidupan teater tutur ini.
PEMBAHASAN
Upaya-upaya Penyelamatan Teater Tutur
Sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan sebagai strategi pembinaan
seni. Strategi yang diterapkan tersebut tentunya dapat berhasil
dilaksanakan dan memiliki input yang jelas bila dilakukan dan didukung
oleh berbagai pihak.Perlu kesatuan visi dan misi di dalam pengembangan
dan pelestarian berbagai kesenian tradisi.salah satunya adalah peranan
dari institusi-institusi milik pemerintah maupun non pemerintah.
Menjadikan sekolah sebagai pusat pembinaan..Perlu dipikirkan kembali
penataan pembelajaran seni di instusi pendidikan dari tingkat SD hingga
SMA di Kerinci.Dengan melakukan pembenahan dalam kurikulum pendidikan
dengan memasukkan unsur lokal dalam pengajaran tentu akan membuat para
siswa mengenali kembali potensi kesenian tradisinya di tengah arus
globalisasi hari ini.Dengan diterapkannya pengenalan dan pembelajaran
mengenai teater tutur Tupai Jenjang sebagai salah satu strategi
pembinaan seni di Institusi sekolah.
Peranan seniman dalam perubahan paradigma masyarakat, perlu suatu
kesepakatan dan diadakannya suatu konsorsium selutuh pelaku dan pembina
teater di Kerinci agar dapat merumuskan kembali pengembangan seperti
apakah yang akan digunakan,metode seperti apakah yang harus dilakukan
serta revitalisasi seperti apakah yang akan dilakukan secepatnya guna
mengembangkan identitas daerah tersebut. Dengan semakin seringnya
diadakan pertemuan-pertemuan dan seminar, maka akan terbentuk suatu
rancangan pengembangan bentuk teater ini yang dapat diberikan dan
dihadapkan ke pemerintah daerah sebagai sebuah rasa tanggung jawab
seniman-seniman tersebut.
Pemerintah Daerah dan Dinas Pariwisata Setempat, perlu secepatnya
dibentuk suatu badan penyelamatan aset seni dan budaya di daerah-daerah
sebagai bentuk kepedulian terhadap karya anak bangsa. Namun juga
tidaklah cukup dengan memberikan anjuran dan pesan-pesan berbau politis
namun perhatian PemKab dalam memanejemen event kesenian juga perlu
ditingkatkan juga. Perlu rasanya memberikan pos dana yang berlebih
untuk anggaran pelestarian dan pengembangan seni dan budaya Kerinci.
Dinas pariwisata, perlu membuat berbagai program-program
pelatihan-pelatihan, lokakarya, seminar dan pertunjukan yang simultan
terus menerus , selain akan membentuk paradigma baru masyarakatnya,
juga akan membuat munculnya kegairahan baru dalam menjadi apresiator
seni.selain itu akan menggugah sikap kedaerahan yang akan menciptakan
kepedulian seni dan budaya .
PENUTUP
Di tengah perubahan global hari ini, yang ditandai dengan berbagai
bentuk perubahan di bidang sosial, ekonomi, politik dan cara–cara
berkebudayaan masyarakat dunia, maka perlu kembali kita menjadikan
teater tutur sebagai pembentuk identitas diri bangsa kita. Di tengah
persaingan ekonomi yang semakin melaju ke arah kompetisi global, maka
kesenian tradisi dalam hal ini teater tutur perlu dilihat sebagai aset
daerah yang memiliki nilai ekonomis dan juga politis.
Banyak daerah-daerah di Indonesia hari ini, yang menjadikan kesenian
tradisinya terutama teater sebagai upaya untuk mengenalkan citra
daerahnya masing-masing baik untuk kebutuhan tingkat nasional maupun
internasional. Dan menyikapi fenomena tersebut, maka sudah saatnya
masyarakat Siulak Kerinci melirik potensi tersebut.
Teater Tutur Tupai Jenjang merupakan bentuk teater tradisi masyarakat
Siulak Kerinci yang hidup pada pertengahan abad 19. Kesenian ini
diasumsikan merupakan bentuk kesenian baru yang diciptakan masyarakat
Siulak sebagai bentuk ekspresi dalam memandang kebudayaannya. Namun
hari ini, pertunjukan Teater Tutur Tupai Jenjang memperlihatkan
indikasi kronis kepunahannya karena kurangnya minat masyarakat untuk
menghadirkan pertunjukan ini pada upacara-upcara adat mereka.Generasi
muda hari ini bahkan tidak melihatkan kepedulian mereka terhadap bentuk
teater tradisi ini. Namun hal tersebut juga tidak boleh dibebankan
kepada generasi mudanya saja. Perhatian pemerintah daerah dalam
penelitian dan pengembangan berbagai bentuk kesenian yang ada juga
perlu ditingkatkan kembali. Perlu kerjasama lintas disiplin agar
kesenian ini tidak punah ditengah arus gobalisasi yang telah membuat
berbagai bentuk perubahan di kehidupan masyarakat. Kerjasama tersebut
dapat dilakukan antara intitusi pemerintah dengan institusi non
pemerintah serta para praktisi kesenian.
DAFTAR PUSTAKA
Kasim , Ahmad.” Mengenal Teater Tradisional di Indonesia.”, DKJ, 2006
,Kasim Akhmad, “Bentuk dan Pertumbuhan Teater Kita”, dalamSuyatna Anirun, et al., ed., Teater Untuk Dilakoni; kumpulan TulisanTentang Teater ,Bandung: CV. Geger Sunten, 1993.
Kamus Filsafat, Lorens Bagus, Jakarta, Gramedia, 1996
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Depdiknas, Jakarta,Balai Pustaka, 2001
Radhar Panca Dahana, “ Homo Theatricus”, Magelang: IndonesiaTera,2000Rendra, “Mempertimbangkan Tradisi”, Jakarta, Gramedia, 1984
Sairin,Sjafri, “Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia”, Yogyakarta : Pustaka Ilmu , 2002
Sumardjo, Jakob. “Perkembangan Teater Modern Dan Sastra Drama Indonesia”. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992.
Yudiaryani, “Panggung Teater Dunia”, Yogyakarta :Gondosuli, 2002
Dialog Mentri pariwista dan Kebudayaan Jero Wacik tahun 2010 di stasiun TV metrotv.
Lihat di CD tarian-tarian nusantara PSN untuk pendidikan seni di sekolah-sekolah dan buku pelajaran kesenian nusantara”Tari Komunal” edisi ujicoba PSN 2006
www.arti kata.com
Glosarium
A
Asimilasi : merujuk pada defenisi 1). Penyesuaian/peleburan sifat asli dengan sifat lingkungan sekitar .2). Penyesuaian diri terhadap kebudayaan dan pola-pola perilaku.
Akulturasi : merujuk pada defenisi 1). Percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi.2). Proses masuknya pengaruh kebudayaan asing itu, dan sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsure kebudayaan asing itu dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu.
D
Dendang : Nyanyian ungkapan rasa senang , gembira, dsb (sambil bekerja atau diiringi bunyi-bunyian)
E
Euphoria : perasaan nyaman atau perasaan gembira yg berlebihan
H
Hedonistik : Yunani (Hedone/Kesenangan atau kenikmatan), dalam hal ini merujuk bahwa pencapaian kesenangan untuk indrawi saja.
Dialektika : berasal dari kata Yunani Dialektos , pengertian Dialektika merujuk pada arti 1). Suatu proses untuk mencapai suatu posisi atau kondisi mellalui tiga tahap: tesis, anti-tesis dan sintesis ,2). Seni memperoleh pengetahuan lebih baik tentang suatu topik dengan pertukaran pandangan-pandangan dan argumentasi yang rasional.
I
Infiltrasi : merujuk pada defenisi penyusupan
K
Kaba : Sastra tradisional yang berbentuk prosa berirama, kalimat sederhana dengan 3-5 kata sehingga dapat diucapkan secara berirama atau didendangkan, tema ceritanya bermacam-macam, seperti kepahlawanan, petualangan, pelipur lara dan kisah cinta
Keba ;merupakan tradisi bercerita yang disampaikan dengan cara berdendang dan diringi oleh alat musik yang terbuat dari belek(kaleng beras besar).
P
Penetrasi :penerobosan, penembusan, perembesan kebudayaan luar mempengaruhi daerah itu.
Profane : merujuk pada defenisi 1). Tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan dan lebih bersifta keduniawian.
R
Revitalisasi : Pembaruan, penyegaran, peremajaan, reaktualisasi, renovasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar