Selasa, 02 Juli 2013

FAKTOR-FAKTOR KEMUNDURAN TEATER TUTUR TUPAI JENJANG SERTA UPAYA UNTUK MENGGAIRAHKAN KEHIDUPANNYA

Oleh Din Saaduddin


LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat luas dengan banyak pulau dan suku bangsa yang ada. Dua pertiga wilayah negara kita adalah lautan dan sisanya adalah daratan. Sebagai sebuah negara yang memiliki wilayah perairan yang luas, hal ini memungkinkan terjadinya akulturasi dalam berbagai caranya terhadap perkembangan seni dari masing-masing daerah hingga akhirnya membentuk jati diri bentuk kesenian yang ada di negara kita. Potensi seni dan budaya bangsa kita, dengan jumlah etnis yang sangat banyak dan memiliki ribuan bentuk seni dan budaya, kiranya dapat menjadi posisi tawar kita di mata dunia. Adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi kita dapat mengangkat kehidupan seni dan budaya kita sehingga menghasilkan tambahan devisa negara seperti negara–negara di Asia Pasifik yang sudah terlebih dahulu menjadikannya sebagai potensi devisa. Negara-negara tersebut adalah Malaysia, Thailand, Singapura dan Cina. Adapun kesenian yang tersebar di negara kita sendiri, sebenarnya juga tidak kalah menarik dengan kesenian yang ada di beberapa negara tersebut. Bentuk-bentuk kesenian yang ada di negara kita sangatlah banyak sekali bentuk dan jenisnya. Ada yang berbentuk modern dan tradisi. Bentuk-bentuk kesenian tersebut bila kita amati sangatlah banyak karena juga berhubungan dengan kebutuhan ekspresi masyarakatnya. Baik itu seni yang mengarah ke nilai-nilai konsumtif hingga kesenian yang bersifat hedonistik. Kemudian kesenian tradisi, di negara ini juga sangat banyak bahkan karena begitu banyaknya hingga hari ini pun tidak juga selesai program dari pemerintah Dirjen pariwisata dan kebudayaan dalam menghimpunnya menjadi sebuah direktori kebudayaan. . 
Keragaman kesenian kita meliputi seluruh wilayah dari Aceh, Papua, hingga daerah Talaud yang berbatasan dengan Filipina. Sebenarnya keberagaman aset seni pertunjukan kita tersebut pun juga telah mulai di data sebagai warisan nenek moyang etnis masing-masing. Walaupun tidak dilakukan oleh pemerintah daerah, tapi kebanyakan dilakukan atau didokumentasikan oleh lembaga-lembaga kebudayaan seperti yang telah dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Seni Nusanatara (PSN) pimpinan Edo Suanda. Dapat kita temukan di beberapa dokumentasinya, sangat kaya ragam bentuk dan sifat kesenian tersebut walaupun yang masih mendominasi adalah bentuk seni pertunjukan yang mengarah ke seni tari. Namun juga terdapat bentuk teater yang lebih mengarah ke sifatnya yang ritual yang penuh dengan bentuk upacara-upacara sakral.
Di antara berbagai bentuk pertunjukan yang akan dibicarakan, teater tentunya juga perlu dilihat sebagai sebuah seni pertunjukan yang merakyat. Merakyat di dalam artiannya adalah bahwa ia selalu melibatkan masyarakat umum di dalam sejarah pertunjukan ini di Indonesia. Karena tentunya sejarah pembentukan dan fungsi pertunjukan teater di Indonesia berbeda dengan tradisi yang dihasilkan oleh negara Eropa dan Barat sebagai tempat kebanyakan teater modern Indonesia berkiblat.
Kata teater berasal dari kata theatron, kata yunani yang memiliki arti seiing place, tempat tontonan, sedangkan kata theatron digunakan untuk menggambarkan bangku-bangku yang berputar setengah lingkaran dan mendaki ke arah lereng bukit yang berfungsi sebagai tempat duduk penonton ketika drama yunani klasik berlangsung. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, di Indonesia, pengertian teater tersebut sudah beradaptasi dengan tradisi penciptaan teater Indonesia yang lebih merujuk kearah Barat, dimana konsep penulisan terhadap naskah lakon menjadi lebih penting dikedepankan, karena pertunjukan teater tersebut juga mempertimbangkan unsur dramatik pertunjukannnya.
Di Indonesia, sebelum euforia dan pengaruh teater Barat yang memiliki orientasi kepada naskah lakon melanda Indonesia dengan lakon Bebasari kurun waktu tahun 1930-an dan diikuti kemudian oleh naskah lakon-naskah lakon yang ditulis oleh para teaterawan Indonesia setelah Indonesia merdeka, kita telah memiliki bentuk teater yang yang kaya akan nilai dan falsafah kehidupan. Bentuk–bentuk teater tersebut mengakar dan hidup serta berkembang di tengah masyarakat Indonesia yang berkebudayaan agraris dan masyarakat Indonesia yang berkebudayaan pesisir, berhubungan dengan kaitannya pertunjukan tersebut yang dipertunjukan untuk penghormatan kepada penguasa alam semesta dan ucapan rasa syukur karena diberkatinya hasil kerja mereka tersebut. 
Banyak bentuk-bentuk teater tradisi ini akhirnya juga memiliki nilai-nilai sosio-religiius. Yang merupakan suatu bentuk penyikapan akan hubungan mereka dengan alam gaib yang menguasai dan menaungi kehidupan bermasyarakat mereka sebagai masyarakat pedesaan. Teater tradisi di nusantara sangat memiliki nilai-nilai yang lebih bermakna dari bentuk kesenian Barat. Bila di Barat bentuk kesenian mereka secara umum berguna untuk menghibur masyarakatnya yang sudah melewati masyarakat pra industrial dan menjadikan seni media penggalian estetika manusia terhadap seni itu, maka berbeda sekali dengan orientasi teater di nusantara yang lebih berorientasi kepada nilai-nilai kehidupan dan bukan sekedar menghibur saja namun lebih merupakan sebagai bentuk pengakuan terhadap alam semesta ini . dan penamaan terhadap teater nusantara ini memang sering diidentifikasikan sebagai pertunjukan teater tradisi.
Secara bentuk, teater di dalam jagatnya dapat dibedakan, seperti teater tradisional dan teater non tradisi. Teater tradisional merupakan suatu bentuk teater yang lahir, tumbuh dan berkembang di suatu daerah etnik, yang merupakan hasil kreatifitas kebersamaan dari suatu suku bangsa di indonesia. Bentuk nya berakar dari kearifan budaya etnik setempat yang erat dengan masyarakat pemiliknya dan telah dikenal oleh masyarakat lingkungannya. 
Teater yang berbentuk tradisional dari suatu daerah di Indonesia, umumnya selalu berangkat dari gaya sastra lisannya yang banyak dimiliki tiap etnis, sastra lisan tersebut dapat berupa pantun, syair , legenda, dongeng dan cerita rakyat setempat . Dan tradisi dalam konteks teater ini sejalan dengan pernyataan Rendra dalam bukunya Mempertimbangkan Tradisi, yakni :Tradisi ialah kebiasaan yang turun-temurun dalam sebuah masyarakat. Ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat.Sifatnya luas sekali, meliputi segala kompleks kehidupan, sehingga sukar disisih-sisihkan dengan pemerincian yang tetap dan pasti.Terutama sulit sekali diperlakukan serupa itu karena tradisi itu bukan obyek yang mati. Melainkan alat yang hidup untuk melayani manusia yang hidup pula.Ia bisa disederhanakan , tetapi kenyataannya tidak sederhana Dan berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976), tradisi ialah segala sesuatu (seperti:kepercayaan, kesenian, kebiasaan, ajaran) yang dianut secara turun temurun dari nenek moyang. Tradisi adalah kebiasaan turun –temurun kelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan.
Bentuk-bentuk teater tradisional di Indonesia sebenarnyapun juga sudah sangat sedikit dapat kita jumpai hari ini, terutama sekali dengan kurangnya bentuk kepedulian pemerintah dalam memberdayakan dan melestarikan warisan kebudayaanya. Seperti di didalam dua tahun ini saja kita telah kehilangan tiga maestro seni , satu dari tokoh maestro teater Mendu Kepulauan Riau yang meninggal, maestro tari Pakarena dari Makasar. Serta maestro zapin dari Bengkalis. Kehilangan seorang maestro seni, berarti kita akan kehilangan juga seorang guru dan tempat bertanya dalam kesejarahan seni tersebut.dan dalam fenomena ini pula, kita seharusnya juga semakin menyadari, bahwa hanya tinggal hitungan waktu saja, maka keberadaan teater-teater tradisi kita akan tinggal kenangan saja dalam catatan bangsa ini.
Di Indonesia, banyak bentuk pertunjukan teater tradisinya yang jeli mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai upaya untuk mempertahankan keberadaannya di masyarakat. Dan tentunya perubahan tersebut tidak dapat ditahan dan ditekan, karena perubahan yang terjadi tentunya juga sebagai upaya menciptakan tradisi baru kembali di dalam teater tradisi tersebut dan sebagai salah satu bentuk kebudayaan, perubahan ini seharusnya tidak dilihat sebagai sebuah kecemasan yang berlebihan. Kebudayaan pada manusia dapat mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi dapat melalui proses asimilasi, akulturasi, penetrasi ataupun infiltrasi. Perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu bergantung dari dinamika masyarakat itu sendiri. Kartodirjo(1986:5) mengemukakan bahwa sepanjang sejarah kehidupan seni sebagai salah satu dari totalitas kehidupan manusia budaya selalu terbawa oleh arus perubahan, karena sifat dari kebudayaan itu sendiri yang tidak statis, melainkan hidup berkembang, juga sebagaimana yang diungkapkan oleh Sjafri Sairin bahwa kebudayaan bukanlah suatu yang statis.
Di Indonesia, fenomena perubahan terjadi pada sendi–sendi kehidupan di masyarakat.Hal ini di dukung dengan derasnya pilihan komunikasi yang ditunjang oleh teknologi informasi. Masyarakat dapat mengetahui berbagai informasi perkembangan dunia luar melalui televisi, radio,dan internet yang dapat merubah sistem nilai budaya masyarakat Indonesia terutama sekali bentuk teater tradisi kita. Sjafri Sairin berpendapat bahwa kebudayaan selalu berubah mengiringi perubahan yang terjadi pada kebutuhan hidup bermasyarakat, baik yang disebabkan oleh penetrasi kebudayaan luar kedalam budaya sendiri atau karena terjadi orientasi baru dari kalangan internal masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri . Pendapat ini dapat dilihat pada teater tradisi di berbagai daerah di nusantara yang sekarang ini memiliki kecenderungan telah mengalami perubahan bentuk sebagai sebuah konsekwensinya terhadap pilihan komunikasinya.
Beragam bentuk teater tutur yang tersebar disetiap daerah di Indonesia antara lain: sinrilik di Sulawesi, Pm Toh dan Didong d Aceh, Kaba di Sumatera Barat, Kentrung di jawa Timur dll. Di daerah Siulak Kerinci,terdapat bentuk teater tutur rakyat yang hidup sebagai bagian kehidupan masyarakat Siulak tersebut. Bentuk pertunjukan ini diperankan oleh satu orang maupun pergantian tokohnya menggunakan tokoh lain yang dibawakan secara bertutur. Adapun kisah yang diawakan bercerita mengenai kehidupan tokoh Tupai Jenjang yang dijadikan objek penceritaan, penuturan ini dibawakan si penutur dengan cara mengganti berbagai peran yang dibawakan yang terdapat di dalam struktur ini dengan menggunakan seluruh elemen panggung.pertunjukan ini biasanya mampu membawa penonton berempati terhadap tokoh-tokoh yang dibawakan karena dibawakan dengan gaya bertutur.
Sejarah kehadiran Teater Tutur Tupai Janjang di Siulak Kerinci
Literatur yang menjelaskan mengenai hal ihwal kehadiran teater ini hingga hari ini belum juga dapat ditemukan, terutama sekali karena jarangnya penelitan dan kajian mengenai bentuk teater ini. Mungkin saja karena nilai tradisinya tersebut yang membuat generasi muda enggan untuk mendekatinya, ataupun mempelajari kesenian ini, sehingga tiak adanya data-data tertulis mengenai pertunjukan ini, namun yang menariknya adalah kita masih dapat menjadikan data lisan dari pekerja atau penutur teater tutur ini yang masih hidup di Siulak Kerinci. dari beberapa wawancara berdasarkan informasi pada beberapa seniman di Kerinci ini, kesenian ini awalnya belumlah menjadi sebuah pertunjukan teater tutur, karena dahulunya pertama kali hanya dibawakan sebagai sebuah cerita atau kaba saja, terutama sekali dibawakan oleh para pekerja jembatan di daerah Siulak Kerinci yang berasal dari Minangkabau. Seringnya cerita ini dibawakan setiap malam membuat masyarakat yang kreatif didi daerah Siulak kerinci ini, menjadikan cerita tupai jenjang menjadi sesuatu bentuk pertunjukan teater tutur, hingga dikenal saat ini oleh masyarakatnya dengan istilah Tupai Jenjang.
Dari fenomena ini sebenarnya kita dapat mengetahui bahwa pertunjukan ini bukanlah merupakan kesenian tradisi masyarakat Siulak, namun telah mengalami transformasi budaya menjadi sebuah pertunjukan milik masyarakat yang baru dan karena memiliki nilai-nilai falsafah yang berkaitan dengan kehidupan budaya masyarakat Siulak tersebut, maka ia dapat diterima menjadi bagian dari masyarakat tersebut hingga sekarang.
Bentuk Penyajian Teater Tutur Tupai Jenjang
Masyarakat daerah Siulak Kerinci, menyebut teater tutur ini sebagai tupai jenjang saja, mereka tidak memberi identifikasi sebagai teater tutur karena ketidaktahuan mereka akan pengetahuan seni teater. Namun kadang kala juga ada yang menyebutnya sebagai keba atau kaba. namun lebih seringkali sebut sebagai Tupai Jenjang oleh masyarakat setempat. Cerita yang dimainkan pada teater tutur ini berbeda sekali dengan cerita pada berbagai bentuk teater tradisi yang ada di Indonesia. Bila pada setiap pertunjukan teater tradisi ceritanya yang dibawakan selalu berubah dan memiliki banyak ragam, tidak halnya pada pertunjukan teater tutur ini. cerita yang dibawakan selalu hanya satu kisah yakni Tupai Jenjang saja..
ISI
Teater Tupai Jenjang di era Globalisasi
Kehadiran media televisi, radio dan internet dalam kehidupan di negara kita karena imbas globalisasi memberi dampak yang tidak sedikit dalam perubahan di masyarakat.Generasi hari ini yang dimanjakan oleh berbagai teknologi yang sifatnya praktis, menghibur dan menjauhkan diri dari realitas social semakin terjauhkan dari berbagai bentuk kesenian tradisi yang ada. Terutama sekali di daerah Siulak Kerinci.
Dengan perkembangan kemajuan teknologi hari ini, masyarakat muda di daerah kerinci telah memiliki suatu budaya baru. dimana budaya yang baru terbentuk erat kaitannnya dengan perkembangan global dunia hari ini. dimana perputaran ekonomi membuat menjamurnya beberapa warung internet, sehingga budaya baru tersebut adalah “sarapan di warnet”. Generasi muda hari ini lebih menyukai bermain di dunia maya, seperti Playstation, band dan organ tunggal. Ini dapat dilihat dari setiap helat yang diadakan maka banyak anak-anak sekarang baik itu sd, smp , sma dan anak kuliahan di tempat-tempat tersebut. Generasi hari ini sebenarnya telah dihibur secara instant tanpa memerlukan pemahaman yang lama, tidak memerlukan tempat yang khusus, tidak perlu pula dibatasi oleh adat-adat yang menurut mereka usang.
Teater tutur tupai jenjang ini , bila pada tahun 70 an hingga tahun 80 an banyak ditampilkan pada setiap upacara adat, maka pada saat ini sudah sangat jarang sekali dipentaskan.hanya sesekali saja dipentaskan dan kebutuhannya hanya sekedar bagian dari promosi dinas pariwisata saja pada beberapa event. Teater tutur ini telah berubah menjadi kebutuhan penampilan event budaya daripada ditampilkan sebgai kebutuhan suatu bagian dari upacara adat. 
Namun bila kita ingin melihat kemunduraran yang dialami oleh kesenian ini , kita juga harus mempertimbangkan faktor internal dan eskternal yang berhubungan dengan teater tradisi ini.berdasarkan berapa uraian di latarbelakang dan argumentasi diatas, dapat ditarik beberapa faktor penyebab teater tradisi ini menjadi kurang akrab lagi di masyarakat pendukungnya . antara lain sebagai berikut.
1. tidak beragamnya pilihan cerita
cerita merupakan elemen yang sangat penting didalam suatu pertunjukan teater. Bila di dalam tradisi teater barat terdapat banyak lakon yang dipentaskan dimana banyak problem sosial yang diangkat, berbeda sekali denga tupai jenjang ini yang hanya memiliki satu kisah saja. Yaitu hanya mengenai kisah Tupai Jenjang. Diasumsikan bahwa cerita yang dimainkan membuat banyak audiens yang tidak merasa tertarik lagi karena merasa apa yang disampaikan di dalam kisah tersebut tidak memiliki konteks lagi dengan banyaknya persoalan sosial yang terjadi di masyarakat dewasa ini. seakan memperlihatkan bahwa ketidakpekaaan penutur dalam mencoba membuat inovasi cerita sebagai pilihan –pilihan kepada penonton. Pertunjukan teater tutur ini, yang kiranya menggunakan konsep akting dan dramaturgi teater Barat seharusnyalah peka menawarkan bentuk cerita lain agar teater ini mendapatkan tempatnya sebagai media ekspresi masyarakatnya dalam menyikapi berbagai persoalan sosial.
2. Bentuk sajian yang konvensional
Bila kita melihat bentuk sajian yang ditampilkan, tidak terdapat adanya perubahan yang ada di dalam sajian ini. Bila saja ada perhatian bagaimana ingin mengembangkan kesenian ini,tentunya para penutur ini juga dapat belajar untuk membuat suatu bentuk hal yang baru dalam sajiannnya, di dalam sajiannya bila di dilihat dari aspek musikal,kostum , gaya peran, dan properti yang digunakan sangat tidak melihatkan adanya perubahan sebagai sebuah konsekwensi agar keberadaannnya terus berlangsung di tengah masyarakat. Tidak adanya upaya revitalisasi dan inovasi membuat kesenian ini menjadi semakin terancam keberadaannnya , diperkirakan bila tiga orang penutur teater tutur ini sudah mennggal, maka hilang juga lah keseniain ini selamanya, karena tidak adanya regenarasi penutur karena masih terdapat asumsi dan membentuk paradigma masyarakat menegnai profesi kesenian ini yang tidak dapat menghidupi ekonomi pewarisnya bila mereka berprofesi sebagai penutur.
3. Perbedaan generasi penutur
Perbedaan usia antara penutur dan generasi muda hari ini, kiranya sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pertunjukan ini. bila dalam pertunjukan teater-tutur di Aceh PM –TOH telah dikembangkan oleh Agoss Noor Amal ) dan usianya pun masih muda, maka setidaknya semangat yang mewakili adalah semangat kaum muda, sehingga semakin jeli melihat keperluan perubahan dalam pertunjukan ini, sehingga jarak yang ada antara penutur dan penonton tidak terlalu jauh sehingga sama –sama mewakili semangat hari ini, sehingga kemungkinkan adanya konteks terhadap masalah yang dipersoalkan dalam pertunjukan tersebut.
4. Perubahan paradigma masyarakat
Perubahan paradigma yang terjadi di dalam masyarakat, kiranya juga sangat berperan. Masyarakat hari ini, telah dibuai oleh indahnya kemudahan-kemudahan fasilitas yang sifatnya unuk pemuas kebutuhan hidupnya.sangat banyak pilihan hari ini untuk menghibur dirinya yang instan tersebut.dari banyak nya film VCD dan DVD, murahnya membeli player pemutarnya, banyaknya hiburan di internet, dan berbagai budaya pop lainnya mengakibatkan terjadi perbauhahan konsumsi hiburan tersebut sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. Bila pada tahun 70 dan 80an semuanya tersebut sulit diperoleh tidak halnya sat ini. dan akhirnya telah terjadi perubahan orientasi hiburan tersebut. Lagi pula karena faktor tidak menariknya sajian hari ini yang tidak dapat diandalkan dalam pertunjukan tersebut, mengakibatkan kesenian teater tutur ini kalah bersaing dengan berbagai media hiburan yang instan tersebut.
5. Gagalnya peran pemerintah daerah
Pemerintah daerah dapat disebut gagal dalam menciptakan iklim berapresiasi masyarakatnya. Di dalam hal ini, hampir tidak ada perhatian pemerintah daerah dalam upaya mengembangkan dan melestarikan kesenian ini sebagai identitas kebudayaan lokalnya. Tidak ada program event lokal yang secara konsistent melakukan pergelaran pertunjukan ini dan melakukan penelitian dan pengembanganya. Hanya ada satu event kesenian di Kerinci yakni Festifal Masyarakat Peduli Danau Kerinci ..Kesenian terutama bagi pemerintah daerah masih dianggap sebagai investasi berdasarkan nilai untung rugi. ketika tulisan ini di tulis pun belum ada juga program pelatihan yang diberikan oleh pemerintah daerah guna mengangkat kehidupan teater tutur ini.
PEMBAHASAN
Upaya-upaya Penyelamatan Teater Tutur 
Sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan sebagai strategi pembinaan seni. Strategi yang diterapkan tersebut tentunya dapat berhasil dilaksanakan dan memiliki input yang jelas bila dilakukan dan didukung oleh berbagai pihak.Perlu kesatuan visi dan misi di dalam pengembangan dan pelestarian berbagai kesenian tradisi.salah satunya adalah peranan dari institusi-institusi milik pemerintah maupun non pemerintah.
Menjadikan sekolah sebagai pusat pembinaan..Perlu dipikirkan kembali penataan pembelajaran seni di instusi pendidikan dari tingkat SD hingga SMA di Kerinci.Dengan melakukan pembenahan dalam kurikulum pendidikan dengan memasukkan unsur lokal dalam pengajaran tentu akan membuat para siswa mengenali kembali potensi kesenian tradisinya di tengah arus globalisasi hari ini.Dengan diterapkannya pengenalan dan pembelajaran mengenai teater tutur Tupai Jenjang sebagai salah satu strategi pembinaan seni di Institusi sekolah.
Peranan seniman dalam perubahan paradigma masyarakat, perlu suatu kesepakatan dan diadakannya suatu konsorsium selutuh pelaku dan pembina teater di Kerinci agar dapat merumuskan kembali pengembangan seperti apakah yang akan digunakan,metode seperti apakah yang harus dilakukan serta revitalisasi seperti apakah yang akan dilakukan secepatnya guna mengembangkan identitas daerah tersebut. Dengan semakin seringnya diadakan pertemuan-pertemuan dan seminar, maka akan terbentuk suatu rancangan pengembangan bentuk teater ini yang dapat diberikan dan dihadapkan ke pemerintah daerah sebagai sebuah rasa tanggung jawab seniman-seniman tersebut.
Pemerintah Daerah dan Dinas Pariwisata Setempat, perlu secepatnya dibentuk suatu badan penyelamatan aset seni dan budaya di daerah-daerah sebagai bentuk kepedulian terhadap karya anak bangsa. Namun juga tidaklah cukup dengan memberikan anjuran dan pesan-pesan berbau politis namun perhatian PemKab dalam memanejemen event kesenian juga perlu ditingkatkan juga. Perlu rasanya memberikan pos dana yang berlebih untuk anggaran pelestarian dan pengembangan seni dan budaya Kerinci. Dinas pariwisata, perlu membuat berbagai program-program pelatihan-pelatihan, lokakarya, seminar dan pertunjukan yang simultan terus menerus , selain akan membentuk paradigma baru masyarakatnya, juga akan membuat munculnya kegairahan baru dalam menjadi apresiator seni.selain itu akan menggugah sikap kedaerahan yang akan menciptakan kepedulian seni dan budaya .
PENUTUP
Di tengah perubahan global hari ini, yang ditandai dengan berbagai bentuk perubahan di bidang sosial, ekonomi, politik dan cara–cara berkebudayaan masyarakat dunia, maka perlu kembali kita menjadikan teater tutur sebagai pembentuk identitas diri bangsa kita. Di tengah persaingan ekonomi yang semakin melaju ke arah kompetisi global, maka kesenian tradisi dalam hal ini teater tutur perlu dilihat sebagai aset daerah yang memiliki nilai ekonomis dan juga politis.
Banyak daerah-daerah di Indonesia hari ini, yang menjadikan kesenian tradisinya terutama teater sebagai upaya untuk mengenalkan citra daerahnya masing-masing baik untuk kebutuhan tingkat nasional maupun internasional. Dan menyikapi fenomena tersebut, maka sudah saatnya masyarakat Siulak Kerinci melirik potensi tersebut.
Teater Tutur Tupai Jenjang merupakan bentuk teater tradisi masyarakat Siulak Kerinci yang hidup pada pertengahan abad 19. Kesenian ini diasumsikan merupakan bentuk kesenian baru yang diciptakan masyarakat Siulak sebagai bentuk ekspresi dalam memandang kebudayaannya. Namun hari ini, pertunjukan Teater Tutur Tupai Jenjang memperlihatkan indikasi kronis kepunahannya karena kurangnya minat masyarakat untuk menghadirkan pertunjukan ini pada upacara-upcara adat mereka.Generasi muda hari ini bahkan tidak melihatkan kepedulian mereka terhadap bentuk teater tradisi ini. Namun hal tersebut juga tidak boleh dibebankan kepada generasi mudanya saja. Perhatian pemerintah daerah dalam penelitian dan pengembangan berbagai bentuk kesenian yang ada juga perlu ditingkatkan kembali. Perlu kerjasama lintas disiplin agar kesenian ini tidak punah ditengah arus gobalisasi yang telah membuat berbagai bentuk perubahan di kehidupan masyarakat. Kerjasama tersebut dapat dilakukan antara intitusi pemerintah dengan institusi non pemerintah serta para praktisi kesenian.




DAFTAR PUSTAKA
Brandon, James R. “Jejak-Jejak Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara”.Terj. R.M. Soedarsono. ISI Yogyakarta, 1989.

Kasim , Ahmad.” Mengenal Teater Tradisional di Indonesia.”, DKJ, 2006

,Kasim Akhmad, “Bentuk dan Pertumbuhan Teater Kita”, dalamSuyatna Anirun, et al., ed., Teater Untuk Dilakoni; kumpulan TulisanTentang Teater ,Bandung: CV. Geger Sunten, 1993.

Kamus Filsafat, Lorens Bagus, Jakarta, Gramedia, 1996
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Depdiknas, Jakarta,Balai Pustaka, 2001
Radhar Panca Dahana, “ Homo Theatricus”, Magelang: IndonesiaTera,2000Rendra, “Mempertimbangkan Tradisi”, Jakarta, Gramedia, 1984
Sairin,Sjafri, “Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia”, Yogyakarta : Pustaka Ilmu , 2002
Sumardjo, Jakob. “Perkembangan Teater Modern Dan Sastra Drama Indonesia”. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992.

Yudiaryani, “Panggung Teater Dunia”, Yogyakarta :Gondosuli, 2002

Dialog Mentri pariwista dan Kebudayaan Jero Wacik tahun 2010 di stasiun TV metrotv.

Lihat di CD tarian-tarian nusantara PSN untuk pendidikan seni di sekolah-sekolah dan buku pelajaran kesenian nusantara”Tari Komunal” edisi ujicoba PSN 2006
www.arti kata.com



Glosarium
A
Asimilasi : merujuk pada defenisi 1). Penyesuaian/peleburan sifat asli dengan sifat lingkungan sekitar .2). Penyesuaian diri terhadap kebudayaan dan pola-pola perilaku.
Akulturasi : merujuk pada defenisi 1). Percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi.2). Proses masuknya pengaruh kebudayaan asing itu, dan sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsure kebudayaan asing itu dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu.
D
Dendang : Nyanyian ungkapan rasa senang , gembira, dsb (sambil bekerja atau diiringi bunyi-bunyian)
E
Euphoria : perasaan nyaman atau perasaan gembira yg berlebihan
H
Hedonistik : Yunani (Hedone/Kesenangan atau kenikmatan), dalam hal ini merujuk bahwa pencapaian kesenangan untuk indrawi saja.
Dialektika : berasal dari kata Yunani Dialektos , pengertian Dialektika merujuk pada arti 1). Suatu proses untuk mencapai suatu posisi atau kondisi mellalui tiga tahap: tesis, anti-tesis dan sintesis ,2). Seni memperoleh pengetahuan lebih baik tentang suatu topik dengan pertukaran pandangan-pandangan dan argumentasi yang rasional.
I
Infiltrasi : merujuk pada defenisi penyusupan

K
Kaba : Sastra tradisional yang berbentuk prosa berirama, kalimat sederhana dengan 3-5 kata sehingga dapat diucapkan secara berirama atau didendangkan, tema ceritanya bermacam-macam, seperti kepahlawanan, petualangan, pelipur lara dan kisah cinta
Keba ;merupakan tradisi bercerita yang disampaikan dengan cara berdendang dan diringi oleh alat musik yang terbuat dari belek(kaleng beras besar).

P
Penetrasi :penerobosan, penembusan, perembesan kebudayaan luar mempengaruhi daerah itu.
Profane : merujuk pada defenisi 1). Tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan dan lebih bersifta keduniawian.
R
Revitalisasi : Pembaruan, penyegaran, peremajaan, reaktualisasi, renovasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar